“Setelah itu, Saya didatangi lagi sama PLN. Akan memberikan nilai yang baru karena yang lama dianggap tidak pantas. Perubahan yang baru saya dijanjikan ganti rugi yang sesuai,” jelasnya.
Ia melanjutkan, PLN Kembali melakukan pendataan lagi pada Agustus 2021 dengan dalih pemilik lahan yang meminta. Padahal tidak ada sama sekali Yusuf meminta melakukan pendataan, karena sudah ada data yang nyata. Sudah 6 kali dilakukan pendataan sejak 2017.
“Didata selama 5 hari. Dan saya cocokkan data dengan PLN setelah disurvei. Sudah cocok dan saya minta copy data yang sudah dirapikan,” terangnya.
Setelah menunggu beberapa hari, datang perwakilan PLN, dan Yusuf menerika data sekaligus nilai kompensasi sebesar Rp 640 juta. Nilai tersebut, menurutnya hanya diputuskan sepihak oleh PLN tanpa melibatkan dirinya.
“Saya masih bertahan. Beberapa berita acara yang diajukan untuk ditandatangani kami tolak,” sebut Yusuf.
Akibat tidak ada kesepakatan, Yusuf mengajukan harga ganti tanam tumbuh. Di mana, tanaman kecil Rp 500 ribu per pokok, tanaman besar Rp 1 juta dan tanaman produktif Rp 1,5 juta. Nominal itu mengikuti harga pemilik lahan yang lainnya.
“Harapannya, dengan kami memberikan harga ada itikat baik PLN untuk sama-sama bernegoisasi harga. Bagaimana jalan keluarnya yang baik,” imbuhnya.
Namun, PLN dianggap mengambil inisiatif sendiri. Memaksakan data beserta nilai ganti rugi untuk dititipkan ke Pengadilan Negeri (PN) Tanjung Redeb. Dengan dalih sudah melakukan musyawarah, padahal tidak ada.
Akhirnya, Yusuf mendapatkan undangan untuk menghadiri sidang penitipan. Hadir hanya sebagai pendengar dan untuk berbicara diminta untuk menggunakan jasa kuasa hukum.
Tak lama, dirinya mendapatkan surat penetapan konsinyasi Nomor: 11/Pdt.P-Kons/2021/PN TNR dan Nomor: 14/Pdt.P-Kons/2021/PN TNR. Itu, menjadi dasar berkekuatan hukum melakukan penebangan atau penindakan untuk melanjutkan proyek tersebut.
“Sidang penetapan 22 November kami tidak dipanggil. Kami baru tahu 25 November. Sudah datang ingin menumbang tanaman. Saya tolak dan batal,” ucapnya.
Setelah itu, pihaknya mendapatkan Surat permohonan eksekusi berisi. Namun, sidang ditunda dan dilanjutkan 20 Desember 2021 nantinya.
“Untuk langkah selanjutnya, kami masih menunggu sidang permohonan eksekusi. Saya serahkan semua kepada kuasa hukum saya,” pungkasnya.
Sementara itu, Faal Murreyza Dundah, Manager Unit Pelaksana Proyek Kalimantan Bagian Timur 2 (UPP KALBAGTIM 2) menuturkan, dalam upaya pemenuhan kebutuhan energi listrik di Kalimantan, PT PLN Persero membangun sistem jaringan interkoneksi melalui Saluran Udara Tegangan Tinggi 150 kilovolt (SUTT 150 kV). Sistem kelistrikan interkoneksi Kalimantan pada sistem Mahakam saat ini memiliki daya mampu sebesar 865 MW dengan beban puncak 505 MW. Saat ini sistem mendukung kebutuhan energi listrik yang ada di sebagian besar wilayah Kalimantan Timur. Dari data tersebut terdapat daya surplus sebesar kurang lebih 360 MW dimana daya yang besar ini akan dialirkan ke ujung Kalimantan timur hingga interkoneksi yang akan menghubungkan provinsi Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara.
“Dari seluruh upaya pembangunan interkoneksi jaringan transmisi yang menjadi Proyek Strategis Nasional (PSN) di Provinsi Kalimantan Timur, SUTT 150 kV Tanjung Redeb — Tanjung Selor menjadi prioritas pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan. Diimana transmisi ini akan menjadi pintu gerbang interkoneksi sistem ketenagalistrikan bagi 2 provinsi dan peningkatan keandalan sistem ketenagalistrikan di Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara yang ada dalam wilayah kerja PT PLN (Persero) Unit Induk Pembangunan Kalimantan Bagian Timur (UIP Kalbagtim),” jelasnya.