• Senin, 22 Desember 2025

Pesisir Berau Jadi Ekosistem Mangrove Terluas di Kaltim, Tetap Saja Terancam

Photo Author
Indra Zakaria
- Senin, 10 Februari 2025 | 10:34 WIB
Ilustrasi mangrove
Ilustrasi mangrove

Kabupaten Berau memiliki potensi kawasan hutan mangrove terluas di Kalimantan Timur yang mencapai 89.000 hektare, termasuk Areal Penggunaan Lain (APL) dan Kawasan Budidaya Kehutanan (KBK).

Mangrove ini bukan sekadar bentang alam hijau di pesisir, tetapi juga berperan besar dalam menjaga ekosistem, menyerap karbon, serta menjadi pilar utama dalam konsep ekonomi biru yang tengah digaungkan.

Namun, di balik potensi besarnya, mangrove di Berau menghadapi berbagai tantangan, mulai dari ekspansi tambak, pembangunan pemukiman, hingga pariwisata yang belum berkelanjutan.

Jika tidak dikelola dengan baik, keberadaan ekosistem ini bisa terancam, yang berakibat pada terganggunya keseimbangan lingkungan, termasuk meningkatnya konflik dengan satwa liar seperti buaya.

Sekretaris Dinas Perikanan (Diskan) Berau, Yunda Zuliarsih, menjelaskan pengelolaan hutan mangrove APL terbagi menjadi 3 kawasan. Di antaranya, 15 persen kawasan inti, 35 persen kawasan budidaya dan 50 persen pemanfaatan budidaya.

Di mana ada dua kampung, yaitu Teluk Semanting dan Tembudan, yang lebih dulu mengembangkan ekowisata mangrove sejak 2020.

“Kami tidak memaksa masyarakat untuk mengelola mangrove, tetapi lebih ke arah fasilitasi. Kami memberi edukasi, pendampingan, dan mendorong partisipasi mereka,” katanya.

Meski demikian, ada beberapa kampung lain, seperti Tanjung Batu dan Tanjung Prangat, yang telah mengajukan permohonan kepada pihaknya untuk membantu penguatan pengelolaan mangrove, tetapi hingga kini masih dalam tahap perencanaan.

Keberadaan mangrove yang sehat tak hanya penting bagi ekosistem laut, tetapi juga mencegah konflik dengan satwa liar.

Yunda mengungkapkan bahwa di beberapa wilayah pesisir, seperti Talisayan dan Bidukbiduk, terjadi kasus buaya yang naik ke permukiman akibat habitatnya terganggu.

“Mangrove adalah rumah bagi banyak satwa, termasuk buaya. Jika ekosistemnya rusak, satwa-satwa ini akan mencari habitat baru, yang sering kali membuat mereka masuk ke wilayah penduduk,” jelasnya.

Salah satu tantangan terbesar dalam pelestarian mangrove adalah keberadaan aktivitas ekonomi yang berbenturan dengan konservasi.

Di beberapa wilayah, seperti Kampung Buyung-Buyung, mangrove berbatasan langsung dengan pemukiman warga. Bahkan, ada perusahaan sawit yang mendirikan kantor di dalam kawasan mangrove, serta bangunan sarang walet yang ikut berdiri di wilayah tersebut.

“Di satu sisi, kita ingin menjaga mangrove. Namun di sisi lain, masyarakat juga membutuhkan ruang untuk berkembang,” ungkapnya.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Indra Zakaria

Rekomendasi

Terkini

X