BUPATI Nunukan Hj. Amin Laura Hafid tampaknya lebih realistis menyikapi kondisi keuangan daerah. Selain memastikan tak ada pengangkatan tenaga honorer menjadi pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK) seperti diamanatkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 49/2018 tentang Manajemen PPPK, ia juga menegaskan pada tahun 2019 setiap perangkat daerah dilarang merekrut pegawai honorer baru lagi. Para perangkat daerah diminta memaksimalkan para honorer membantu tugas dalam pemerintahan daerah. Mereka yang telah bertugas saat ini akan diperpanjang kontraknya.
“Kalau untuk pegawai honorer yang baru tidak ada lagi. Tapi, yang sudah lama diperpanjang lagi. Kecuali yang bermasalah dan kinerja tidak baik,” tegas Hj. Asmin Laura kepada kepada ini saat ditemui usai pertemuan dengan sejumlah ketua rukun tetangga (RT) di kediaman pribadinya akhir pekan lalu.
Ia mengatakan, mengenai persoalan pegawai honorer ini memang harus lebih banyak dipahami para ketua RT. Para ketua RT diminta dapat menyampaikan ke warga jika penerimaan pegawai honorer itu sangat terbatas, bahkan sudah tidak ada penambahan baru lagi. “Jangankan gaji pegawai honorer, gaji ASN dan tunjangannya saja berat dibayarkan. Apalagi kalau semakin banyak pegawai honorer yang diterima. Anggaran bisa habis hanya membayar gaji saja, tapi pekerjaan tidak maksimal,” bebernya.
Keberadaan pegawai honorer di lingkungan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Nunukan itu memang perlu diseleksi. Sampai saat ini masih saja banyak pegawai honorer yang datang ke kantor tidak mengetahui apa tugas-tugasnya. Mereka datang hanya duduk saja. Jumlahnya yang begitu banyak tak berbanding dengan ruang kerja pemerintahan. “Tidak semua juga anak Nunukan itu harus jadi honorer. Gaji mereka berapa saja kalau saat ini. Sayang pendidikannya kalau hanya honorer saja,” ungkapnya.
Kepala Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BKPSDM) Nunukan Sabri sebelum membeberkan jika dipastikan tak ada pengangkatan pegawai honorer di 2019. Kendati demikian, bagi pegawai honorer yang kembali diperpanjang kontraknya masih tetap difungsikan. Sebab, untuk proses perekrutan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK) sebagaimana yang telah diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 49/2018 tentang Manajemen PPPK belum dapat dilakukan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Nunukan.
“Dalam petunjuk teknis itu, Pasal 99 ayat 1 dan 2, dinyatakan bahwa pegawai honorer ini masih dapat dipertahankan hingga 5 tahun ke depan. Artinya, pegawai honorer yang ada ini masih tetap dipertahankan hingga 5 tahun ke depannya,” kata Sabri kepada media ini saat dikonfirmasi.
Menurutnya, P3K ini sebagai alternatif pengisian jabatan di setiap perangkat daerah. ASN itu wajib menjalankan tugas-tugas jabatan yang ada di organisasi pemerintahan. ASN ini terbagi menjadi dua. Yakni, ASN sebagai pegawai negeri sipil (PNS) dan non-PNS. Nah, yang non-PNS ini disebut PPPK. “Untuk batasan usia, di PPPK setahun sebelum masa pensiun masih boleh diterima. Meskipun sebagai solusi, tapi tetap wajib mengikuti mekanisme yang telah diatur,” ujarnya.
GUGATAN KE MA DIKABULKAN
Mahkamah Agung (MA) mengabulkan sebagian permohonan gugatan guru honorer kepada Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB). Materi gugatannya adalah Peraturan Menteri PAN-RB 36/2018 yang mengatur syarat rekrutmen CPNS 2018. Gugatan itu dipicu persyaratan usia maksimal 35 tahun untuk bisa mendaftar CPNS.
Andi Harun kuasa hukum guru honorer menegaskan, jika Kementerian PAN-RB tetap melanjutkan seleksi CPNS 2018, bisa disebut melanggar hukum. “Kami minta pemerintah meninjau ulang batasan usia tersebut. Khusus untuk pelamar guru honorer,” kata Andi Senin (31/12). Dia merasa ketentuan batas usia maksimal 35 tahun bagi para guru honorer tersebut tidak adil.
Menurut dia, bagi pelamar CPNS yang baru bekerja atau fresh graduate, tidak masalah batas usia maksimal 35 tahun itu diberlakukan. Namun, bagi para guru honorer yang sudah bertahun-tahun menjadi guru, pembatasan usia maksimal tersebut tidak adil.
Apalagi, di lapangan, kata dia, banyak guru honorer di sekolah negeri yang mendapat gaji tidak manusiawi. Banyak guru honorer yang sudah bekerja selama 20 tahun, tetapi mendapatkan gaji tidak lebih dari Rp 300 ribu per bulan.
Kondisi tersebut sangat ironis di tengah pengakuan pemerintah bahwa Indonesia sedang kekurangan guru untuk mengajar di sekolah negeri. “Pemerintah kekurangan guru. Kalau butuh guru, angkat saja guru yang sudah mengajar (untuk jadi CPNS, Red),” tegasnya.