Andi menyesalkan alasan pemerintah soal keterbatasan anggaran untuk mengangkat guru menjadi CPNS. Sebab, di satu sisi, pemerintah mengucurkan anggaran besar untuk pembangunan infrastruktur seperti jalan tol.
Dia menegaskan, dengan keluarnya putusan MA tersebut, pemerintah harus merevisi ketentuan rekrutmen CPNS 2018. “Berikan akses yang seluas-luasnya bagi para honorer untuk menjadi CPNS,” ujarnya.
Andi menyatakan, para guru honorer yang berusia lebih dari 35 tahun itu sangat ingin menjadi CPNS. Pemerintah tidak bisa memaksa mereka untuk menjadi PPPK.
Mengenai keluarnya putusan MA tersebut, Kementerian PAN-RB belum bisa memberikan keterangan. Kepala Biro Hukum, Komunikasi, dan Informasi Publik Kementerian PAN-RB Mudzakir menyatakan belum mendapat informasi tentang putusan MA itu. “Kami memang belum terima (salinan putusan MA, Red),” ujarnya.
JUGA GUGAT PP 49
Selain gugatan tersebut, gugatan lainnya yakni uji materi PP 49/2018 yang dinilai tidak memenuhi standar pembentukan peraturan perundang-undangan. Uji materi PP 49/2018 dilakukan dengan argumentasi beberapa pasalnya bertentangan dengan UU Nomor 5/2014 tentang ASN, UU 14/2005 tentang Guru dan Dosen, UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan, serta UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Perundang-undangan.
Isi PP 49/2018, ada beberapa poin yang dinilai cacat hukum. Pertama, PP ini memiliki tenggang waktu pelaksanaan dua tahun sejak penetapannya. Kedua, PP 49/2018 tidak mengakomodir Guru Tidak Tetap (honorer) yang telah bekerja lama, setidaknya di atas lima tahun.
Ketiga, seleksi PPPK dilakukan sebagaimana seleksi pegawai baru, tidak memperhatikan masa kerja sebelumnya.
Keempat, seleksi PPPK dilaksanakan bukan sebagai akibat hukum seleksi CPNS atau ‘kompensasi’ bagi yang tidak lulus seleksi CPNS. "Alasan kelima, penerapan masa kontrak bagi PPPK bertentangan dengan UU Perburuhan, karena masa kontrak kerja hanya maksimal 2x1 tahun sebelum diangkat sebagai Pegawai Tetap. Sedangkan masa kontrak PPPK adalah minimal 1 tahun atau maksimal 5 tahun untuk satu periode kontrak," beber Andi.
Keenam, tidak ada ukuran batasan seleksi bagi jabatan untuk guru.
Ketujuh, pengadaan PPPK (Pasal 10) dilakukan secara nasional, tetapi sesungguhnya peta kebutuhan tenaga guru dan kependidikan sudah jelas tingkat kebutuhannya, termasuk soal jumlah kebutuhan dan wilayah tempatnya. "Pasal 16 pembatasan usia maksimal 1 tahun sebelum batas usia jabatan adalah tidak rasional, karena proses seleksi sampai waktu pengumuman memakan waktu yang pada akhirnya masa kerja calon PPPK batas waktu 1 tahun tidak mungkin melaksanakan pekerjaannya sampai batas usia pensiunnya. Bagaimana menerapkan batas moralitas dan integritas bagi seleksi guru untuk calon PPPK," paparnya.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Pakuan ini menambahkan, bagaimana menerapkan Pasal 25 menguji psikologis dan kejiwaan guru yang telah menjalankan profesi pendidik setidaknya 5 tahun, sehingga apakah bisa disamakan dengan calon PPPK yang baru lulus ‘fresh graduate’.
Bagaimana juga menerapkan Pasal 37 tentang masa kerja yang tidak ditentukan berapa kali perpanjangan masa kerja tersebut, ketentuan ini tidak memberi kepastian hukum. Selanjutnya, bagaimana melaksanakan ketentuan Pasal 57 tentang pemutusan hubungan kerja akibat perampingan organisasi bagi profesi pendidik atau tenaga kependidikan, sehingga tidak memberikan kepastian hukum.
"Terakhir, bagaimana melaksanakan Pasal 60 terkait penilaian kinerja guru, karena kepala sekolah yang bisa menilai kinerja guru dan tenaga kependidikan, sehingga PP ini menimbulkan ketidakpastian hukum. Makanya kami minta agar PP 49/2018 ini dicabut," pungkasnya. (oya/esy/jpg/lim)