Ternyata, taman atau pojok baca pun dikembangkan oleh Komunitas One Person One Book (OPOB). Ketua OPOB, Sarinah mengatakan komunitas ini bergerak atas dasar aktivis, dari RT ke RT dan desa ke desa.
Terbentuk sejak 8 Oktober 2015, komunitas ini sudah menginjakkan kaki ke daerah pelosok Kalimantan Utara. Termasuk di daerah Kabupatan Malinau dan Bulungan.
“Kalau di Tarakan ke daerah yang terisolir, seperti di belakang BRI yang paling ujung. Ada juga Mamburungan, Amal dan Kampung Satu. Jadi kami bawa buku ke daerah-daerah itu. Akhirnya di 2017, kita berhasil masuk di 5 desa secara mandiri. Yakni Desa Pungit, Desa Selor, Desa Long Sam, Desa Aji Kuning dan Desa Tanjung Buka SP-6,” jelas Sarinah.
Di 2018, OPOB ini bekerja sama dengan pemerintah Australia dengan program inovasi. Melalui program ini, OPOB mengintervensi 20 desa. 17 desa yang tersebar di Kabupaten Malinau, dan 13 desa yang tersebar di Kabupaten Bulungan. Atas kerja sama ini pula sebagai bentuk untuk memberantas buta aksara. “Di situ kami benar-benar fokus memberantas buta aksara. Jadi ada 3 program, yaitu mendirikan pojok baca sekolah di 20 desa, mendirikan 20 taman baca masyarakat di 20 desa, dan pendampingan anak lambat membaca. Alhamdulillahkami sudah setahun bekerja sama dengan pemerintah Australia, dan sudah intervensi 20 desa,” lanjutnya.
Dengan adanya taman baca masyarakat, juga menjadi wadah bagi orang tua. Dari OPOB sendiri, membuat pustaka keliling untuk orang tua atau dewasa, dengan buku-buku seperti novel, pendidikan.
Tak jarang, orang tua di desa tertarik belajar membaca. Khususnya di Desa Pungit, daerah Bulungan. Warganya antusias dan merasa butuh pendamping untuk membawa perubahan.
“Kami ke Desa Pangit Januari 2016, warga bilang bahwa mereka butuh sekali pendampingan dari kami. Tapi karena kegiatan mandiri, jadi saat itu hanya 4 sampai 7 hari. Sedangkan warga di sana berharap kami stay, tapi kami tidak bisa dampingi lama-lama,” bebernya.
Tapi adapula desa yang menolak mentah-mentah kehadiran komunitas ini. 2017, OPOB bergerak ke salah satu desa yang terbilang sangat pelosok di daerah Bulungan. Namun sayangnya, niat baiknya tidak diterima warga setempat. “Untuk sampai ke sana, kami harus naik speedboat, kemudian dua kali naik ketinting karena sangat pelosok. Di sana kami diskusi sama kepala adat, dan mereka merasa desanya tidak butuh sekolah, tidak butuh belajar. Tapi mereka lebih butuh pendidikan adat. Jadi ini salah satu kendala kami. Kemudian kendala kami juga di pendanaan, karena tidak di dalam naungan pemerintah. Sehingga cari dana sendiri,” tutupnya.
TINGGI DI ENAM PROVINSI
40 persen penduduk dunia buta huruf atau buta aksara. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy mengatakan, semangat pemberantasan buta aksara sudah didorong sejak pemerintah Bung Karno. Saat itu, lebih dari 97 persen rakyat Indonesia buta aksara.
Menurut Muhadjir, keadaan saat ini 180 derajat dibandingkan saat masa awal kemerdekaan. Rakyat Indonesia saat ini sudah melek aksara. Pemerintah berhasil mengurangi buta aksara lebih dari separuh rakyat Indonesia.
“Pada tahun 2004 lalu 10,2 persen atau 15,4 juta orang buta aksara menjadi 5,02 persen atau 7,54 juta orang pada 2010,” beber Muhadjir di Makassar, Jumat (6/9) lalu. Tahun ini pemerintah berhasil menekan angka buta aksara hingga 1,93 persen atau 3,2 juta orang. Angka tersebut turun dari tahun sebelumnya yang mencapai 2,07 persen atau 3,4 juta orang.
Dia mengakui, gerakan pemberantasan buta aksara di Indonesia belum selesai. Para penderita buta aksara, menurutnya banyak ditemukan di wilayah Indonesia timur. Mereka tinggal di perdesaan dan daerah-daerah kantong kemiskinan. “Pada umumnya kaum perempuan usia di atas 45 tahun,” ungkapnya.
Menurut data BPS pada Susenas 2018 lalu, terdapat enam provinsi di Indonesia dengan angka buta aksara lebih dari 4 persen yakni: Provinsi Papua sebanyak 22,88 persen, Nusa Tenggara Barat sebanyak 7,51 persen, Nusa Tenggara Timur sebanyak 5,24 persen, Sulawesi Barat sebanyak 4,64 persen, Sulawesi Selatan sebanyak 4,63 persen dan Kalimantan Barat sebanyak 4,21 persen.