• Senin, 22 Desember 2025

Warga Perbatasan RI-Malaysia Inginkan Perdagangan Tradisional Dibuka

Photo Author
- Rabu, 13 Juli 2022 | 21:30 WIB
MASIH BELUM DIBUKA: Warga Perbatasan di dataran tinggi Krayan, Kabupaten Nunukan, saat menutup jalur Long Midang – Ba’kelalan yang selama ini menjadi urat nadi ekonomi warga setempat.
MASIH BELUM DIBUKA: Warga Perbatasan di dataran tinggi Krayan, Kabupaten Nunukan, saat menutup jalur Long Midang – Ba’kelalan yang selama ini menjadi urat nadi ekonomi warga setempat.

NUNUKAN – Sudah sepekan aksi blokade jalur perbatasan RI–Malaysia, Ba’kelalan-Long Midang, di dataran tinggi Krayan, Kabupaten Nunukan. Aksi penutupan akses perbatasan tersebut terjadi pada Selasa (5/7) lalu. 

Namun, hingga saat ini belum ada satupun kunjungan para pemangku kebijakan ke Krayan. Baik itu Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Nunukan, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kaltara maupun KJRI Kuching Serawak.

Masyarakat Adat Dayak Lundayeh di dataran tinggi Krayan, terus menunggu respons dan reaksi para pengambil kebijakan. Atas krisis yang terjadi di perbatasan RI – Malaysia ini. Camat Krayan, Ronny Firdaus mengatakan, sampai saat ini baru ada respons dari Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP) yang mencoba berkomunikasi dengan warga perbatasan.

“Tempo hari ada BNPP melakukan zoom meeting dengan warga kami. BNPP merekomendasikan agar Gubernur Kaltara segera mengambil sikap. Dengan berkoordinasi kepada Pemerintah Sarawak, agar membuka ruang dan kesempatan terkait perdagangan tradisional yang selama ini berlangsung di Krayan,” terangnya saat dihubungi, Selasa (12/7).

Ronny menegaskan, masyarakat masih menantikan langkah yang diambil Pemerintah. Masyarakat ingin pengambil kebijakan datang langsung melihat kondisi Krayan. Menyaksikan situasinya secara langsung, bukan hanya mendengar informasi. 

“Pesan masyarakat, mari kita bicarakan persoalan ini di Krayan,” ujar Ronny.

Sementara ini, ketersediaan bahan pokok memang diakui terjangkau untuk wilayah ibu kota Kecamatan di Krayan. Sebagai contoh, gula pasir di wilayah Kecamatan bisa diperoleh dengan harga Rp 38 ribu per kg. Namun ketika sudah sampai di wilayah pedesaan/pelosok, harga akan menjadi Rp 45 ribu per kg. Demikian juga dengan harga bahan pokok lain.

Selain itu, suplai BBM menjadi salah satu masalah. Dimana antrean terus terjadi tiap hari, dengan jatah 3 liter per kendaraan.

“Ada jalan alternatif di wilayah Krayan Barat, yang tembus ke Ba’rio. Masyarakat biasa memesan bahan pokok di Malaysia, dan menggendongnya melalui hutan. Mereka berangkat pukul lima pagi dan pulang pukul delapan malam,” tuturnya.

Di Ba’rio, warga Krayan akan menunggu di pinggir sungai tepat di titik perbatasan RI – Malaysia. Di wilayah tersebut, akan ada perahu kayu dari Malaysia membawa sembako atau BBM sesuai pesanan.

Sistem ini, sebenarnya sudah menjadi tradisi perdagangan warga perbatasan selama bertahun-tahun. “Itu kenapa masyarakat Krayan meminta sistem perdagangan tradisional kembali berjalan. Membuka ruang seluas-luasnya bagi para pengusaha Krayan dan Malaysia, untuk saling berjualan. Sehingga kebutuhan Krayan aman, dan harga tidak mencekik seperti saat ini,” ungkapnya. 

Blokade jalur perbatasan di Krayan, membuat pembangunan terhenti. Masyarakat tidak lagi bisa mendapat material bangunan yang selama ini diperoleh dari Malaysia. 

Krayan, sampai saat ini belum bisa lepas dari ketergantungan terhadap Malaysia. “Beruntungnya kalau untuk beras, gudang-gudang kami dipenuhi hasil panen padi yang tak bisa dijual ke Malaysia,” ujarnya. 

Pada dasarnya, kata Ronny, warga Krayan sudah sangat lama bersabar atas keterbatasan dan keterisoliran ini. Hanya saja, ketika baru mencoba bangkit dari gempuran pandemi. Namun, keadaan tersebut dibatasi dengan perdagangan yang dikendalikan koperasi. Hal ini membuat warga menjerit, karena harga semua kebutuhan semakin tak terjangkau.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: izak-Indra Zakaria

Tags

Rekomendasi

Terkini

X