• Senin, 22 Desember 2025

Pemkab Kukar Fasilitasi Mediasi Konflik Agraria di Long Beleh Modang, Tegaskan Tak Ada Kepemilikan Tanah di Kawasan IPPKH

Photo Author
- Senin, 11 Agustus 2025 | 20:28 WIB
Suasana rapat mediasi konflik agraria Desa Long Beleh Modang, Kembang Janggut yang difasilitasi Pemkab Kukar (Istimewa)
Suasana rapat mediasi konflik agraria Desa Long Beleh Modang, Kembang Janggut yang difasilitasi Pemkab Kukar (Istimewa)

TENGGARONG – Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Kutai Kartanegara (Kukar) memfasilitasi mediasi konflik agraria di Desa Long Beleh Modang, Kecamatan Kembang Janggut. Persoalan ini melibatkan masyarakat dan perusahaan pemegang Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) untuk kegiatan pertambangan. Mediasi tersebut merupakan tindak lanjut permohonan yang diajukan Pemerintah Kecamatan Kembang Janggut.

Kepala Bagian Tata Pemerintahan Sekretariat Kabupaten Kukar, Yani Wardhana, menegaskan bahwa mediasi ini tidak membahas ganti rugi atas tanah, mengingat lokasi yang disengketakan berada dalam kawasan hutan.

“Untuk tanahnya itu tidak boleh, karena itu kawasan hutan. Tidak ada hak atas tanah baik perorangan maupun perusahaan. Tidak ada yang namanya kepemilikan tanah,” tegas Yani, Jumat (8/8/2025).

Meski status tanah sudah jelas, Pemkab Kukar tetap berupaya menjembatani kesepakatan antara perusahaan dan warga. Pasalnya, lahan tersebut telah dimanfaatkan masyarakat sebagai kebun kelapa sawit.

“Saya sampaikan penyelesaian tetap berdasarkan klausul di IPPKH yang menyatakan, jika memang ada hak-hak pihak ketiga di areal pinjam pakai, menjadi kewajiban perusahaan untuk menyelesaikan dengan dikoordinasikan oleh Pemda,” ujarnya.

Pelaksana Tugas (Plt) Camat Kembang Janggut, Suhartono, menyebutkan bahwa mediasi di tingkat kabupaten ini merupakan upaya ketiga yang difasilitasi pemerintah, setelah sebelumnya dilakukan di tingkat desa dan kecamatan. Namun, hingga kini belum ada titik temu antara kedua belah pihak.

Menurut pengakuan warga, kebun sawit yang berada di kawasan hutan itu sudah ada sejak 2013, hampir bersamaan dengan terbitnya IPPKH perusahaan pada tahun yang sama.

“Di sinilah letak ketidakjelasannya. Perusahaan berasumsi, jika kegiatan berkebun dilakukan sebelum 2013, mungkin akan ada kebijakan khusus, karena dianggap tidak mengetahui. Tapi karena dimulai hampir bersamaan dengan terbitnya IPPKH, perusahaan belum bisa menyetujui nominal yang diinginkan masyarakat,” jelasnya.

Ia menambahkan, yang dimaksud masyarakat bukan ganti rugi, melainkan tali asih sebagai bentuk penghargaan terhadap aktivitas warga di lahan tersebut.

Sementara itu, Kepala Seksi Sumber Daya Hutan (SDH) Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) Wilayah IV Samarinda, La Taati, menerangkan bahwa berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan No. P.16/Menhut-II/2014, pemegang IPPKH tidak memiliki kewajiban memberi ganti rugi kepada warga terdampak.

“IPPKH itu perusahaan pemegang izinnya sudah bayar ke negara tiap tahun, termasuk area penyangganya. Kalau ada masyarakat yang berkebun di areanya, kasihan juga perusahaan. Sudah bayar tiap tahun, tapi lahannya tidak bisa diapa-apakan karena ada masyarakat di situ,” ungkapnya.

Meski begitu, dalam SK IPPKH terdapat klausul yang mengatur pemenuhan hak-hak pihak ketiga, yang semestinya diselesaikan saat penataan batas wilayah. Hak tersebut meliputi kepemilikan yang bisa dibuktikan secara tertulis seperti Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB), atau Sertifikat Hak Milik (SHM) yang telah terverifikasi.

Sementara itu, hak yang tidak dapat dibuktikan secara tertulis—seperti rumah, tanaman, atau fasilitas umum yang hadir setelah penunjukan kawasan hutan—tidak menjadi kewajiban perusahaan untuk dipenuhi.

“Saya rasa masing-masing pihak mau damai, hanya masalah harga yang belum cocok. Berdasarkan pengalaman, biasanya penyelesaian dilakukan dengan pemberian tali asih,” pungkasnya. (moe)

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Indra Zakaria

Rekomendasi

Terkini

X