• Senin, 22 Desember 2025

Wanita Lebih Rentan Depresi, Pria Cenderung Frustrasi

Photo Author
- Kamis, 25 September 2025 | 08:02 WIB
ilustrasi depresi
ilustrasi depresi

SAMARINDA- Dalam rentang dua hari, warga Samarinda dikejutkan oleh dua peristiwa gantung diri yang terjadi di lokasi berbeda. Aksi pertama menimpa P (33) di Perumahan Solong Durian, Kelurahan Sempaja Utara, pada Sabtu (20/9/2025) malam. Sementara sehari kemudian, Senin (22/9/2025) dini hari, DW (39) ditemukan tergantung di ruang tamu rumahnya di Jalan Raudah 5, Samarinda Ulu.

Jasad P pertama kali ditemukan oleh kerabatnya, Rian Alwin (26) dan Maulidah Wati (44), sekitar pukul 19.30 Wita. Penyidik masih mendalami latar belakang yang mendorong Pebriadi mengakhiri hidup; dugaan sementara mengarah pada masalah pribadi.

Untuk kasus kedua, menurut keterangan istri korban, I (27), mereka sempat keluar bersama sekitar pukul 03.00 Wita. Saat Ilsanti kembali sekitar pukul 05.10 Wita, ia mendapati sang suami sudah tergantung. 

Kedua kejadian ini membuka diskusi penting tentang perbedaan cara depresi dan frustrasi tampak pada pria dan wanita serta faktor risiko bunuh diri. Ayunda Rahmadani, psikolog dari Universitas Negeri Mulawarman yang juga Koordinator Psikolog UPT PPA Kota Samarinda mengatakan, depresi bisa menyerang siapa saja namun seringkali tampil berbeda antara laki-laki dan perempuan.
“Depresi memang lebih sering terdiagnosis pada wanita, tetapi angka kematian karena bunuh diri cenderung lebih tinggi pada pria,” ujar Ayunda, Selasa (23/9/2025).

Ia menjelaskan, gejala depresi umum meliputi perasaan sedih, kehilangan minat, perubahan tidur atau nafsu makan, hingga kesulitan berkonsentrasi. Namun pada pria, depresi kerap termanifestasi sebagai kemarahan, agresivitas, peningkatan konsumsi alkohol atau narkoba, serta perilaku berisiko.

“Pria biasanya jarang membicarakan atau mencari pengobatan untuk depresi; banyak kasus tetap tidak terdiagnosis sampai terjadi krisis,” tambahnya. Ayunda menekankan bahwa mengenali tanda-tanda baik yang “klasik” maupun yang tampak sebagai perubahan perilaku adalah langkah awal menuju pemulihan.

Ayunda melanjutkan, berdasarkan kajian umum psikososial, ada beberapa faktor yang meningkatkan kemungkinan seseorang mengambil langkah ekstrem, gangguan kesehatan mental (depresi berat, bipolar, skizofrenia, gangguan kecemasan). Peristiwa hidup yang sangat stres (putus, kehilangan pekerjaan, masalah ekonomi atau hukum). Adanya riwayat percobaan bunuh diri sebelumnya atau ide bunuh diri. Isolasi sosial, kurang dukungan keluarga/teman.

"Penyakit kronis atau nyeri yang berkepanjangan. Akses mudah ke sarana mematikan (obat-obatan, racun, alat). Penyalahgunaan alkohol/obat-obatan. Tekanan budaya dan stigma yang mencegah orang mencari bantuan. Kombinasi beban ekonomi dan masalah keluarga. Kesemua ini bisa menjadi faktor penyebab," terang Ayunda.

Ayunda menambahkan, vmbeberapa tanda yang sebaiknya tidak diabaikan jika melihat kondisi yang jangan seperti bicara tentang ingin mati, merasa tak ada harapan, atau mengatakan perpisahan. Mencari atau mengumpulkan sarana untuk bunuh diri. Perubahan drastis dalam perilaku seperti menarik diri, menurun fungsi kerja/sekolah, kehilangan minat. Perubahan emosi, sering marah, gelisah, atau tampak “lega” setelah tampak lebih tenang. Gangguan tidur atau pola makan, dan peningkatan penggunaan alkohol/obat. Memberi barang berharga atau menata hal-hal pribadi sebagai persiapan perpisahan.

Ayunda mengingatkan, bila melihat tanda-tanda di atas, keluarga dan teman sebaiknya bertindak cepat dan empatik. 

"Tanya langsung dengan empati, “Apakah kamu sedang berpikir untuk mengakhiri hidup?”, bertanya tidak menanamkan ide, justru membuka kesempatan berbicara. Dengarkan tanpa menghakimi; validasi perasaan mereka. Jangan biarkan sendiri jika ada risiko langsung. Kurangi akses ke sarana berbahaya di rumah. Ajak dan dampingilah mencari bantuan profesional (psikiater/psikolog). Libatkan keluarga, tokoh agama, atau komunitas untuk dukungan berkelanjutan," urai Ayunda.

 

Jika Anda atau orang di sekitar menunjukkan tanda-tanda krisis, segera hubungi layanan darurat setempat (112/119) atau langsung ke IGD rumah sakit terdekat. Untuk dukungan kesehatan jiwa, hubungi Puskesmas setempat, rumah sakit rujukan, atau layanan konseling yang ada.

"Kejadian di bunuh diri di Samarinda ini seharusnya menjadi pengingat bahwa pencegahan bunuh diri membutuhkan keterlibatan keluarga, lembaga kesehatan, dan komunitas. Mendeteksi tanda awal, merespons dengan empati, dan memastikan akses layanan kesehatan mental yang cepat dapat menyelamatkan nyawa," tukas Ayunda. (kis)

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Indra Zakaria

Rekomendasi

Terkini

X