• Senin, 22 Desember 2025

Polemik Tapera Tak Cuma Resahkan Buruh, Apindo Juga Keberatan hingga Minta Dikaji Ulang

Photo Author
Indra Zakaria
- Sabtu, 1 Juni 2024 | 15:30 WIB
Presiden KSBSI Elly Rosita Silaban (kiri) bersama Ketua Umum Apindo Shinta W Kamdani (tengah) menggelar keterangan pers terkait penolakan iuran Tapera di Jakarta, Jumat (31/5). (JAWA POS)
Presiden KSBSI Elly Rosita Silaban (kiri) bersama Ketua Umum Apindo Shinta W Kamdani (tengah) menggelar keterangan pers terkait penolakan iuran Tapera di Jakarta, Jumat (31/5). (JAWA POS)

Prokal.co - POLEMIK Tapera turut mendorong Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) dan Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) meminta pemerintah untuk mengkaji ulang implementasi iuran tersebut.

Ketua Umum Apindo Shinta W Kamdani mengungkapkan, dunia usaha pada dasarnya menghargai tujuan pemerintah untuk menjamin kesejahteraan pekerja. Khususnya untuk ketersediaan perumahan.

Namun, PP Nomor 21/2024 yang ditandatangani Presiden Joko Widodo dinilai sebagai duplikasi program existing manfaat layanan tambahan (MLT) perumahan pekerja yang berlaku bagi peserta program jaminan hari tua (JHT) BPJAMSOSTEK.

 ’’Sehingga kami berpandangan Tapera dapat diberlakukan secara sukarela. Pekerja swasta tidak wajib ikut serta karena pekerja swasta dapat memanfaatkan program MLT BPJAMSOSTEK,” ucap Shinta dalam keterangan persnya, Jumat (31/5).

Menurut dia, pemerintah dapat lebih mengoptimalkan dana BPJS Ketenagakerjaan. Aset JHT sebesar Rp 460 triliun bisa digunakan untuk program MLT perumahan bagi pekerja. ”Saat ini ada JHT yang 30 persen dananya itu sudah bisa dimanfaatkan untuk layanan tambahan. Dan, itu bisa dipakai untuk beli rumah,” bebernya.

Menurut dia, ketentuan Tapera mengharuskan masyarakat menabung untuk membiayai proyek perumahan rakyat sebesar 3 persen dari upah/pendapatan dan pemberi kerja harus menanggung 0,5 persen cukup memberatkan.

Padahal, para pekerja dan pemberi kerja juga masih dibebani sejumlah kewajiban iuran lainnya. Seperti PPh 21 sebesar 5–35 persen sesuai penghasilan pekerja, BPJS Ketenagakerjaan (JHT) sebesar 5,7 persen yang ditanggung perusahaan 3,7 persen dan pekerja 2 persen.

Belum lagi BPJS Kesehatan dengan besar potongan 5 persen, yang jadi tanggungan perusahaan 4 persen dan pekerja 1 persen.

Serta jaminan kecelakaan kerja (JKK) dan jaminan kematian (JKM). ”Yang menjadi polemik di sini bahwa Tapera adalah sebuah tabungan, itu konsepnya dijadikan penambahan iuran untuk program jaminan sosial.

Di mana sebenarnya, kita sudah punya program jaringan sosial yang juga cover perumahan rakyat,” jelas Shinta.

Sementara itu, Presiden KSBSI Elly Rosita Silaban menganggap pemerintah sebenarnya bisa memaksimalkan pemanfaatan dana MLT BPJS Ketenagakerjaan yang diperuntukkan bagi program kepemilikan rumah untuk pekerja yang belum memiliki tempat tinggal.

“Untuk itu, kami minta setidaknya pemerintah merevisi pasal 7 dari yang wajib menjadi sukarela. Penerapan Undang-Undang Tapera tidak menjamin bahwa upah buruh yang telah dipotong sejak usia 20 tahun dan sampai usia pensiun, untuk bisa mendapatkan rumah tempat tinggal. Belum lagi sistem hubungan kerja yang masih fleksibel (kerja kontrak), ini masih jauh dari harapan untuk bisa mensejahterakan buruh," kata Elly

"KSBSI menganggap Undang-Undang Tapera tidak mendesak, sehingga tidak perlu dipaksakan untuk berlaku saat ini," tambah Elly. Elly juga mengusulkan agar pemerintah tidak menjadikan keikutsertaan menabung di Tapera sebagai bentuk kewajiban tetapi atas dasar sukarela. (jpg/riz2)

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Indra Zakaria

Sumber: Kaltim Post

Rekomendasi

Terkini

X