Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mencatat tindakan salah tangkap sebagai pekerjaan rumah polisi yang belum tuntas hingga saat ini. Setahun terakhir, KontraS mendapati 15 peristiwa salah tangkap. Perinciannya, ada 25 korban salah tangkap dan 9 di antaranya mengalami luka.
Koordinator KontraS Dimas Bagus Arya mengatakan, penangkapan memang menjadi salah satu kewenangan polisi. Namun, peristiwa salah tangkap itu menunjukkan bahwa kepolisian tidak hati-hati menjalankan tugasnya. "Ini indikasi serius terhadap penegakan hukum yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan dan supremasi hukum," kata Dimas kepada Jawa Pos.
Sesuai ketentuan, hukum acara pidana mengatur syarat-syarat penangkapan agar prosesnya tidak dilakukan sewenang-wenang. Syarat itu, antara lain, polisi harus memiliki bukti permulaan yang cukup atau dugaan keras bahwa orang yang akan ditangkap merupakan pelaku tindak pidana. Selain itu, ada syarat formil dan administratif yang harus disertakan dalam penangkapan.
Menurut Dimas, peristiwa salah tangkap tentu merugikan korban. Juga merugikan Polri secara institusi. Sebab, ketika polisi salah tangkap dan korbannya tidak terbukti melakukan tindak pidana, maka kepercayaan masyarakat terhadap Polri akan rusak. ’’Masyarakat tidak akan percaya lagi dengan sistem hukum kalau peristiwa salah tangkap dan penangkapan sewenang-wenang terus terjadi,’’ ucapnya.
Dimas mengingatkan Polri untuk berhati-hati dan taat terhadap aturan penangkapan. Selain itu, Polri mesti meningkatkan pengawasan internal dan menerapkan prosedur ketat untuk mencegah terjadinya kesalahan dalam penegakan hukum. ’’Ini harus menjadi bahan evaluasi,’’ tegasnya.
Selain itu, menurut Dimas, pemerintah harus dimintai pertanggungjawaban atas peristiwa salah tangkap. Pemerintah semestinya ikut mengevaluasi mekanisme lembaga pengawas eksternal yang sudah ada.
Dimas menyatakan, lembaga pengawas eksternal itu seharusnya juga dilengkapi kewenangan semi penyidik atau penuntut. Dengan begitu, pengawas eksternal bisa menginvestigasi pengaduan dan dugaan pelanggaran yang dilakukan anggota kepolisian. ’’Hasil investigasi bisa berupa rekomendasi untuk menentukan apakah pelanggaran akan dituntut secara pidana dan diberi sanksi disiplin,’’ imbuhnya.
Pemerintah, lanjut Dimas, juga perlu mendesain judicial scrutiny lewat mekanisme Hakim Komisaris atau Hakim Pemeriksa Pendahuluan. Mekanisme itu merupakan bentuk pengawasan dalam tahap penyidikan yang saat ini masih minim dilakukan kepolisian. ’’Pengawasan minim itu membuat pelanggaran prosedural rentan terjadi,’’ tuturnya. (tyo/c18/oni)