Amnesty International Indonesia mendesak agar mahasiswi ITB yang membuat meme Presiden Prabowo dan Presiden RI ke-7 Jokowi berciuman dibebaskan. Penangkapan yang dilakukan polisi dinilai berlebihan.
Direktur Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan, penangkapan mahasiswi itu menunjukkan bahwa polisi terus melakukan praktik-praktik otoriter dalam merepresi kebebasan berekspresi di ruang digital. "Kali ini dengan menggunakan argumen kesusilaan," ujarnya, Sabtu (10/5).
Usman menilai, ekspresi damai seberapapun ofensifnya, baik melalui seni, termasuk satir dan meme politik, bukanlah merupakan tindak pidana. "Respons Polri ini jelas merupakan bentuk kriminalisasi kebebasan berekspresi di ruang digital," lanjutnya.
Penangkapan ini, lanjutnya, juga bertentangan dengan semangat putusan MK terbaru yang menyatakan bahwa keributan di media sosial tidak tergolong tindak pidana. Pembangkangan Polri atas putusan MK tersebut, dianggap mencerminkan sikap otoriter aparat yang menerapkan respons yang represif di ruang publik.
Usman menegaskan, kebebasan berpendapat adalah hak yang dilindungi, baik dalam hukum HAM internasional dan nasional, termasuk UUD 1945. Meskipun kebebasan ini dapat dibatasi untuk melindungi reputasi orang lain.
"Standar HAM internasional menganjurkan agar hal tersebut tidak dilakukan melalui pemidanaan," kata dia.
Lembaga negara sendiri termasuk Presiden, imbuhnya, bukanlah suatu entitas yang dilindungi reputasinya oleh hukum hak asasi manusia. Menurut Usman, kriminalisasi di ruang ekspresi semacam ini justru akan menciptakan iklim ketakutan di masyarakat dan merupakan bentuk taktik kejam untuk membungkam kritik di ruang publik.
"Polri harus segera membebaskan mahasiswi tersebut karena penangkapannya bertentangan dengan semangat putusan MK," kata dia. Lebih lanjut lagi, Usman menganggap kriminalisasi lewat UU ITE, tidak hanya menghukum si korban. Tapi juga menimbulkan trauma psikologis keluarga mereka.
"Mereka dalam beberapa kasus harus terpisah dari keluarga ketika proses hukum berjalan akibat penahanan dan pemenjaraan. Ini merupakan taktik yang represif dan tidak adil," pungkasnya. (*)