• Senin, 22 Desember 2025

Kerugian Rp285 Triliun, Mengurai Kerugian Negara dari Skandal Solar Murah

Photo Author
- Sabtu, 18 Oktober 2025 | 11:10 WIB
ilustrasi BBM
ilustrasi BBM

PROKAL.CO- Jaksa penuntut umum menyebut praktik pengelolaan minyak mentah dan produk kilang di tubuh PT Pertamina (Persero) dan subholding-nya, Pertamina Patra Niaga, telah menimbulkan kerugian negara total Rp285 triliun.

Angka ini bukan sekadar hasil kalkulasi kasar, melainkan disusun berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan Investigatif Nomor 26/SR/LH/DJPI/PKN.02/06/2025 tanggal 18 Juni 2025, yang menjadi dasar dakwaan terhadap tiga eks pejabat Pertamina: Riva Siahaan, Maya Kusmaya, dan Edward Corne.

Dalam salinan dakwaan yang diterima tim _Jaringan Promedia_, kerugian keuangan negara tercatat sebesar Rp25,4 triliun dan US$2,73 miliar, sementara kerugian perekonomian nasional, yang mencakup efek lanjutan terhadap beban harga energi dan dampak pasar, mencapai Rp171,99 triliun.

Selain itu, jaksa juga mengungkap _illegal gain_ senilai US$2,61 miliar, yang didapat dari selisih harga impor bahan bakar dan minyak mentah yang tidak sesuai ketentuan.

Jika seluruh komponen digabung, total kerugian akibat tata kelola energi yang buruk ini mencapai Rp285 triliun, setara hampir 10 kali nilai kerugian Jiwasraya dan lebih dari dua kali subsidi energi 2024.

Solar Murah untuk Korporasi, Bukan Rakyat

Skema paling mencolok dalam dakwaan adalah penjualan solar non-subsidi di bawah harga jual terendah (bottom price) kepada perusahaan swasta besar. Riva Siahaan, dalam kapasitasnya sebagai Direktur Pemasaran Pusat & Niaga Pertamina Patra Niaga periode 2021–2023, disebut menyetujui harga jual di bawah harga pokok penjualan dan bahkan di bawah harga dasar solar bersubsidi.

“Penjualan solar di bawah bottom price tersebut mengakibatkan terjadinya kerugian keuangan negara sebesar Rp9,41 triliun,” demikian isi dakwaan jaksa.

Harga rendah ini diberikan kepada 73 perusahaan industri besar, antara lain PT Pama Persada Nusantara, PT Ganda Alam Makmur, PT Vale Indonesia Tbk, PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk, dan PT Indo Tambangraya Megah.

Menariknya, sebagian perusahaan itu adalah pemain besar di sektor energi dan pertambangan yang justru tercatat memiliki kemampuan finansial kuat. Praktik “diskon solar” ini pun menimbulkan pertanyaan etis: mengapa korporasi besar menikmati harga lebih murah dari solar bersubsidi?

Skandal ini tak berhenti di soal harga solar. Dakwaan terhadap Edward Corne menyingkap rantai panjang kerugian dari hulu ke hilir—mulai dari ekspor minyak mentah, impor BBM, biaya pengapalan, penyimpanan, hingga kompensasi Pertalite.

Misalnya, dalam komponen kompensasi BBM Pertalite RON 90, pemerintah disebut membayar Rp13,1 triliun lebih besar dari seharusnya, akibat formula perhitungan yang tidak efisien. Sedangkan pada sisi impor, ditemukan selisih harga pembelian minyak dan produk kilang yang merugikan negara hingga miliaran dolar.

Jaksa menilai seluruh rangkaian kebijakan ini menyalahi pedoman resmi Pertamina, antara lain Pedoman Pengelolaan Pemasaran BBM Industri dan Marine PT Pertamina Patra Niaga No. A02-001/PNC200000/2022-S9, serta melanggar prinsip Good Corporate Governance sebagaimana diatur dalam Permen BUMN No. PER-01/MBU/2011.

Menanggapi hal tersebut, Vice President Corporate Communications PT Pertamina (Persero), Fadjar Djoko Santoso, mengatakan bahwa perusahaan menghormati seluruh proses hukum yang sedang berjalan.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Indra Zakaria

Rekomendasi

Terkini

X