• Senin, 22 Desember 2025

Penyebab Motor Brebet Tak Melulu karena BBM, Bisa Jadi Hal Lain, Ini Penjelasan Dosen Teknik Kimia Unmul

Photo Author
Indra Zakaria
- Sabtu, 12 April 2025 | 12:00 WIB
Pembelian BBM di salah satu SPBU di Kota Samarinda.
Pembelian BBM di salah satu SPBU di Kota Samarinda.

Kekhawatiran masyarakat Kalimantan Timur atas dugaan maraknya BBM oplosan dalam beberapa waktu terakhir, dinilai sebagai bentuk kekecewaan atas kelangkaan pasokan BBM. Namun, di balik istilah “oplosan” yang terkesan negatif, ternyata ada proses ilmiah yang sah dan sudah menjadi praktik umum dalam industri energi, khususnya dalam kegiatan kilang atau distribusi BBM.

Dosen Teknik Kimia Universitas Mulawarman, Rif’an Fathoni, menegaskan bahwa yang disebut masyarakat sebagai “BBM oplosan” pada dasarnya adalah praktik blending atau pencampuran. Proses ini dilakukan untuk menyesuaikan kadar Research Octane Number (RON) yang dibutuhkan, baik dalam skala industri maupun saat distribusi.

Baca Juga: Tak Ingin Berpolemik, Pemkot Samarinda Beri Solusi Nyata, Ada Kompensasi Rp300 Ribu Korban BBM Diduga Bermasalah

“Di kilang atau distributor seperti Patra Niaga, blending itu legal karena merupakan bagian dari proses untuk mendapatkan produk BBM sesuai standar. Tapi karena kata ‘oplosan’ terdengar negatif, masyarakat langsung berpikir bahwa ini sesuatu yang jelek,” jelas Rif’an.

Ia menjelaskan, baik Pertalite maupun Pertamax sejatinya berasal dari bahan baku yang sama, yakni minyak bumi, yang kemudian diproses melalui teknik distilasi dan pemisahan kimia. Proses ini menghasilkan komponen-komponen bahan bakar dengan nilai RON berbeda, seperti nafta, mokas, hingga hasil dari hydro cracking. Pertalite itu RON-nya 90, sementara Pertamax 92. 

“Untuk mendapatkan nilai RON tertentu, maka dilakukan pencampuran. Misalnya, untuk mendapatkan RON 92, bisa dilakukan pencampuran 60 persen bahan ber-RON tinggi dengan 40 persen bahan ber-RON rendah,” bebernya.

Namun, Rif’an menegaskan, angka RON tidak bisa dilihat secara kasat mata. Masyarakat kerap terjebak pada indikator warna atau aroma. Padahal, RON hanya bisa dipastikan melalui uji laboratorium. Perbedaan warna BBM sendiri berasal dari bahan pewarna dan zat aditif yang ditambahkan dalam proses produksi.

“Warna bisa saja tidak konsisten karena bahan baku minyak bumi itu sendiri warnanya bervariasi, tergantung sumur asalnya. Pewarna hanya indikator visual dan tidak menentukan kualitas pembakaran,” ujarnya.

Ia juga menjawab dugaan yang mengaitkan BBM oplosan dengan gangguan mesin kendaraan. Menurutnya, memang ada kaitan antara RON yang tidak sesuai spesifikasi dengan performa kendaraan.

“Kalau kendaraan didesain pakai RON 92, lalu diisi dengan RON 90, bisa saja jadi brebet atau kurang halus pembakarannya. Tapi itu bukan semata karena oplosan, bisa juga karena tangki kendaraan kotor, busi tidak diganti, atau filter bahan bakar bermasalah,” tambahnya.

Soal endapan seperti pasir dalam BBM, Rif’an menilai hal itu mungkin terjadi jika pencampuran bahan aditif tidak dilakukan dengan benar, atau tangki penyimpanan BBM di SPBU tidak dibersihkan secara rutin. Ia menyebut, aditif seperti alkohol digunakan sebagai detergen khusus untuk menjaga kebersihan saluran bahan bakar, bukan sembarang detergen.

“Kalau aditifnya tidak sesuai atau dicampur oleh pihak yang tidak berwenang, bisa saja menimbulkan endapan. Apalagi kalau BBM dibeli dari pengecer yang tangki penyimpanannya tidak bersih, risiko kerusakan makin besar,” katanya.

Sebagai catatan penting, ia menyarankan agar masyarakat tidak mencampur sisa BBM berbeda jenis di tangki kendaraan karena bisa mengubah kadar RON.

“Kalau kendaraan butuh RON 92 lalu dicampur Pertalite dan Pertamax, misalnya 50:50, hasilnya jadi RON 91. Itu bisa berdampak jangka panjang ke mesin,” ujarnya. Terakhir, Rif’an menilai perlunya transparansi dan pengawasan lebih lanjut oleh lembaga berwenang agar masyarakat tidak salah paham soal proses pencampuran BBM.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Indra Zakaria

Sumber: sapos.co.id

Tags

Rekomendasi

Terkini

X