SAMARINDA- Tragedi pasien lanjut usia berinisial SU (68) yang ditemukan gantung diri di ruang perawatan RSUD Abdul Wahab Sjahranie (AWS) Samarinda beberapa hari lalu bukanlah peristiwa pertama. Di balik dinding sunyi berbagai rumah sakit di Indonesia, ternyata tersimpan serangkaian kisah kelam yang nyaris senada. Pasien mengakhiri hidup di tempat yang justru seharusnya menjadi ruang pemulihan.
Berdasarkan penelusuran berbagai sumber, kasus serupa pernah terjadi di sejumlah rumah sakit besar. Mulai dari RSUD H. Moch Ansari Saleh di Banjarmasin, RSU Santo Antonius Pontianak, RS Hasan Sadikin Bandung, hingga RSJ Kendari. Mayoritas korban adalah pasien dengan penyakit menahun, gangguan kejiwaan, atau sedang menjalani perawatan intensif dalam kondisi psikologis rentan.
Misalnya, pada 13 Mei 2025, seorang pasien berinisial LU (27) ditemukan meninggal dunia di ruang Asoka RSJ Kendari. Dugaan kuat menunjukkan pasien mengalami depresi karena merasa ditinggalkan keluarga. Dalam kasus lain, seorang pasien gagal ginjal di RSUD Mojokerto bunuh diri di ruang rawat setelah menjalani terapi rutin selama berminggu-minggu.
Peristiwa-peristiwa ini menunjukkan adanya ancaman senyap yang luput dari perhatian kesehatan jiwa pasien rawat inap dan lemahnya sistem pengawasan rumah sakit.
Kepala Dinas Kesehatan Kalimantan Timur, dr. Jaya Mualimin, menyoroti pentingnya tindakan konkret dari seluruh rumah sakit di daerah untuk mencegah kejadian serupa terulang.
“Kami sangat menyesalkan kasus yang terjadi di RSUD AWS. Ini harus menjadi pelajaran serius. Setiap rumah sakit, terutama rumah sakit rujukan, harus segera memperkuat sistem perlindungan terhadap pasien berisiko tinggi,” ujar dr. Jaya, Selasa (8/7/2025).
Ia menegaskan, pihak Dinkes Kaltim telah meminta RSUD AWS dan rumah sakit lainnya untuk melakukan audit menyeluruh terhadap sistem pengawasan pasien rawat inap. Dinas juga mendorong penerapan standar pencegahan yang komprehensif, mencakup aspek medis, teknis, hingga psikologis.
Baca Juga: Pasien Akhiri Hidup di Jendela Rumah Sakit AWS Samarinda, CCTV akan Diperiksa
“Langkah pertama adalah skrining risiko bunuh diri sejak awal pasien masuk. Kita harus bisa identifikasi siapa saja yang secara psikologis rentan—entah karena penyakit kronis, tekanan batin, atau riwayat gangguan jiwa,” tegasnya.
“Kemudian, pengawasan pasien berisiko harus ditingkatkan. Perawat tidak boleh hanya mengandalkan jadwal kunjungan rutin, tapi harus ada pengawasan tambahan, termasuk CCTV di area strategis dan tombol darurat di kamar atau kamar mandi,” tambahnya.
Menurutnya, aspek desain ruangan juga tak bisa diabaikan.“Kami sudah mengimbau agar rumah sakit mulai mendesain ulang ruang rawat agar tidak ada lagi benda atau struktur yang bisa dimanfaatkan untuk tindakan gantung diri, seperti ventilasi palang, tali tirai, atau sprei yang bisa dililit,” katanya.
Tak kalah penting, kata dia, adalah pendekatan psikologis.“Harus ada pendampingan dari psikolog atau psikiater, minimal satu kali seminggu untuk pasien-pasien kronis atau isolasi. Jangan sampai mereka merasa sendiri dalam masa pemulihan,” ungkap dr. Jaya.
Dinkes Kaltim juga menekankan peran keluarga dan pembatasan barang pribadi. “Keluarga pasien juga harus diedukasi, dilibatkan secara aktif. Dan rumah sakit harus tegas memeriksa barang bawaan tali, kabel, sabuk, benda tajam harus disita sementara,” tegasnya lagi. “Intinya, jangan tunggu kejadian berikutnya baru kita bergerak. Ini soal keselamatan jiwa, dan kita tidak boleh lengah,” tutup dr. Jaya.
Rumah sakit adalah ruang pemulihan, bukan ruang terakhir. Tragedi seperti yang terjadi di RSUD AWS maupun rumah sakit lainnya harus menjadi alarm keras bagi seluruh layanan kesehatan. (kis/nha)