Kami bertiga jadi sering berkumpul, mendiskusikan banyak hal tentang musik kekinian sampai musik keroncong. Khusus genre ini, Alya adalah pengamat, sebuah ensiklopedia berjalan dari hulu ke hilir menebarkan nilai tradisi dan keluhuran. Di sela-sela ceritanya, Rio akan mengatupkan mulut menahan rasa kantuk. Alya tak peduli, paparannya akan terus lanjut hingga selesai. Keakraban itu tak berlangsung lama. Tiba-tiba, Alya memutuskan kontak. Semua sosial medianya menghilangkan. Begitu juga Rio.
Rio pun bercerita, Alya adalah anak seorang pengusaha. Ayahnya adalah singa di antara para macan, hiu di antara ikan-ikan besar yang tak ragu melakukan segala cara untuk mendapatkan makanan. Alya menjadi tawanan rumah yang senantiasa patuh dan bergerak berdasarkan aturan. Alya menghibur diri dengan berbagai musik yang dia dengar, sampai ia menemukan kaset lama milik ibunya, musik keroncong yang ia dendangkan dan nikmati.
“Bapakku dan ayahnya adalah kolega bisnis. Bila aku ke rumah, lagu keroncong menggema memenuhi rumahnya yang megah. Cuma kamu yang betah menyimak ceritanya, Man,” jelas Rio.
“Hal ini tak akan terjadi bila kau menceritakannya sejak dulu. Ini bukan persoalan remeh, Rio. Apa yang terjadi padanya?”
Tawa dan canda lenyap melalui kabar kepergian Alya. Dari kabar beredar, Alya berada di luar negeri, bernyanyi mengelilingi kafe-kafe kecil. Seiring waktu, memorinya terbawa arus waktu, meski samar muncul dalam mimpi. Setelah lulus kuliah, aku dan Rio mengambil jalan hidup masing-masing. Ia mendapat tawaran kerja di perusahaan besar bidang mineral dan gas. Aku menjalankan kehidupan sebagai karyawan kantor yang sepanjang hari berkencan dengan layar komputer.
***
Belasan tahun berlalu, bekerja di luar kota tidak sepenuhnya berhasil membuatku lupa keberadaan dirinya. Hingga tiga hari yang lalu, informasi dari surat kabar lokal tentang pertunjukan musik Keroncong Tingkilan muncul, menyebutkan namanya. Aku sempat pangling melihat wajahnya, tidak tanpa kacamata yang melekat di matanya.
“Di sini!” tangan Rio melambai posisi pada seseorang.
Dari atas panggung, perempuan itu menuju meja 08. Rio memeluk perempuan itu, mempersilakannya duduk.
“Ini Ayu, calon istriku. Seorang penyanyi profesional. Aku harap kau datang ke acara pernikahan nanti,” tukasnya bangga.
“Aku ke sini untuk bertemu Alya. Seharusnya ia tampil malam ini,” ungkapku kesal.
“Alya sudah lama pergi, pergi dari dunia ini. Kau tak mendapatkan kabarnya?”
Aku bergeming. Ingin rasanya aku menarik baju Rio dan menjatuhkannya di depan orang banyak.
“Ayu memakai nama panggung Alya Dwirahma, kakaknya. Alya meninggal dalam kecelakaan tunggal menjelang tampil membawakan lagu.”
Sayup-sayup irama keroncong masih terdengar, meski badanku berat seolah ditindih batu besar. Memasuki lirik terakhir, terlalu berat kepalaku menyimak lagu, berujung tersungkur menatap meja. (dwi/k8)