Sky taxi atau taksi terbang disebut menjadi lompatan besar dalam sistem transportasi Indonesia yang akan digunakan di Ibu Kota Nusantara (IKN). Taksi terbang berjenis optionally piloted personal/passenger air vehicle (OPPAV) merupakan kendaraan yang dikembangkan oleh Korea Aerospace Research Institute (KARI) dan Hyundai Motors Company (HMC).
Mengutip laman resmi Korea Aerospace Research Institute, taksi terbang didesain dengan panjang 6,15 meter, lebar sayap 7 meter, kecepatan jelajah 200 km/per jam, berat lepas landas maksimum 650 kg, berat muatan 100 kg, penumpang 1 orang, dan jarak jangkauan 50 km.
Awal Mei lalu, komponen taksi terbang yang dibawa dari Korea Selatan telah tiba di Balikpapan untuk dilakukan uji coba. Menyusul komponen baterai yang akan dikirim ke Samarinda. Mengapa dikirim ke Samarinda? Berdasarkan rencana sebelumnya, Otorita IKN bersama Korea Aerospace Research Institute (KARI) dan Hyundai Motors Company (HMC) akan melakukan uji coba terbang di Bandara APT Pranoto Samarinda.
Dalam keterangannya Mei lalu, Deputi Bidang Transformasi Hijau dan Digital Otorita IKN Prof Mohammed Ali Berawi menyatakan, pelaksanaan inspeksi dan uji coba akan dilaksanakan Juli 2024.
“Kegiatan perakitan dan inspeksi akan dimulai pada awal Juni. Dan dilanjutkan uji coba terbang pada Juli 2024 menjelang perhelatan 17Agustus di IKN. Kegiatan uji coba akan dilakukan selama sebulan penuh di Bandara APT Pranoto Samarinda dan melalui serangkaian pengujian dan kajian kelayakan," terang Prof Ale, sapaan akrab Prof Mohammed Ali Berawi.
Namun hingga saat ini, tanda-tanda uji coba yang dimaksud belum juga terwujud. Dikutip dari Antara, Sekretaris Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Kemenhub Sigit Hani Hadiyanto mengatakan bahwa pihaknya menyetujui rencana uji coba taksi terbang di IKN selama tidak mengganggu ruang udara penerbangan komersial.
"Jadi, pihak penyedia atau apapun operatornya kalau dengan konsep yang tentunya masih menggunakan ruang udara yang tidak bersinggungan dengan ruang udara untuk pesawat udara berawak itu bisa dilakukan," kata Sigit. Dia menjelaskan bahwa secara prinsip, taksi udara termasuk dalam wahana udara tidak berawak (urban air mobility/UAM).
Jadi, katanya, mekanisme penerbangannya bersifat terpisah (segregated) dengan ruang udara pesawat konvensional. "Secara prinsip, saat ini kebijakannya, kalau terkait dengan wahana udara tidak berawak atau UAM (urban air mobility) atau drone, atau taksi terbang atau apapun adalah sifatnya 'segregated'," katanya.
Meski begitu, menurut Sigit, hal itu masih perlu dilakukan kajian lanjutan mengenai operasional taksi terbang karena konsep tersebut juga satu hal yang masih dicermati di seluruh dunia. "ICAO (Organisasi Penerbangan Sipil Internasional/International Civil Aviation Organization) sebagai penjuru regulasi penerbangan juga masih melakukan kajian-kajian mengenai hal itu. Jadi, kita juga merujuk kepada hal tersebut," jelasnya.
Lebih lanjut Sigit mengatakan, penggunaan taksi terbang di IKN nantinya juga akan membutuhkan izin operasional karena hal tersebut serupa dengan penggunaan pesawat tanpa awak yang juga membutuhkan izin dan tidak dapat dilakukan di sembarang ruang udara.
Oleh karena itu, dia berharap adanya kesiapan dari operator untuk berkoordinasi secara baik dengan bandara setempat maupun penyedia layanan navigasi sehingga nantinya tidak mengganggu ruang udara. "Kemudian izin akan diberikan, kalau memang semua aspek itu dipandang sudah memenuhi persyaratan yang berlaku dan juga 'safety assessment' yang berlaku," kata Sigit. (riz)