SIDANG lanjutan uji materiil Undang-Undang tentang Ibu Kota Negara (UU IKN) digelar di Mahkamah Konstitusi (MK), Senin (17/3). Kuasa hukum pemohon, Leonardo Olefins Hamonangan, menyampaikan telah melakukan sejumlah perbaikan dalam permohonan tersebut. Salah satu perbaikan adalah dengan bertambahnya satu pemohon.
Sidang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Arief Hidayat, didampingi oleh Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dan Ridwan Mansyur di Ruang Sidang Panel MK.
Pada persidangan sebelumnya, dengan perkara dengan nomor 185/PUU-XXII/2024, pemohon menguji materiil aturan Hak Atas Tanah (HAT) di IKN. Meliputi Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB).
Baca Juga: Feri Amsari: IKN Menghamburkan Uang Rakyat, Tapi Tak Jelas Hasilnya
"Dan sidang lanjutan dengan agenda pemeriksaan perbaikan permohonan, kuasa hukum pemohon menambahkan pemohon baru, yaitu Ronggo Warsito. Serta memperjelas kerugian konstitusional yang dialami oleh para Pemohon. Di mana, Hakim MK sebelumnya menekankan pentingnya menjelaskan hubungan sebab akibat antara keberlakuan pasal yang diuji dengan kerugian konstitusional yang dialami Pemohon,” kata Leonardo Olefins Hamonangan dikutip dari website MK, Selasa (18/3).
Dalam persidangan, Leonardo juga menjelaskan bahwa pemohon I, yakni Stepanus Febyan Babaro merupakan warga asli suku Dayak yang saat ini menjabat sebagai Ketua Dewan Adat Provinsi Kalimantan Barat.
Sebagaimana tertuang dalam surat keputusan Dewan Adat Dayak Provinsi Kalimantan Barat. Dia menilai bahwa pemberlakuan HGU dengan jangka waktu 190 tahun serta HGB dan Hak Pakai dengan durasi hingga 160 tahun di IKN, yang diatur dalam Pasal 16A ayat (1), (2), dan (3) UU Nomor 21 Tahun 2023 tentang Perubahan atas UU Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara, berpotensi memicu konflik berkepanjangan di masa depan.
“Dengan aturan ini, masyarakat adat berisiko kehilangan hak ulayat dan tanah mereka. Konflik penyerobotan lahan akan semakin sering terjadi, yang pada akhirnya dapat menghilangkan eksistensi tanah adat,” tegas Leonardo.
Dia juga menekankan bahwa pengajuan judicial review ini merupakan inisiatif pemohon I. Mewakili masyarakat adat Dayak, yang khawatir akan dampak kebijakan tersebut. Terhadap tanah adat yang telah dijaga turun-temurun.
“Kami tidak ingin ketentuan ini, yang bertujuan menarik investor, justru mengorbankan keberlangsungan budaya dan kesejahteraan masyarakat adat Dayak,” tambahnya.
Leonardo juga menyoroti data yang disampaikan oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN). Yang menunjukkan adanya indikasi penyalahgunaan izin terkait HGU, HGB, dan Hak Pakai.
“Kami telah memasukkan dokumen yang mencantumkan kasus-kasus suap dalam pemberian izin hak atas tanah sebagai bukti bahwa regulasi ini sangat rentan terhadap praktik korupsi,” ungkapnya.
Sebelumnya, pemohon mendalilkan terdapat dua regulasi berbeda mengenai jangka waktu HGU, HGB dan Hak Pakai.