Kedua, jika dilihat berdasarkan perintah peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, terdapat beberapa ketentuan dalam UU Pilkada yang memerintahkan pengaturan lebih lanjut melalui PKPU. UU Pilkada mendelegasikan kepada KPU untuk membuat peraturan lebih lanjut berkaitan dengan aspek tertentu dalam penyelenggaraan Pilkada.
Namun jangan lupa, KPU juga berkewajiban menyesuaikan akibat-akibat hukum yang lahir dari putusan pengadilan, terutama yang lahir dari pengujian peraturan perundang-undangan baik di Mahkamah Konstitusi (MK) maupun di Mahkamah Agung (MA). Hal ini lebih khusus putusan MK yang menguji norma dalam UU Pilkada sebagai aturan payung dari PKPU. Putusan MK wajib untuk diintegrasikan ke dalam PKPU. Bukan hanya karena putusan MK bersifat mengikat, tapi juga karena PKPU sendiri merupakan peraturan pelaksana dari UU Pilkada sehingga wajib memberikan “kepastian hukum” dalam pelaksanaan Pemilu dan Pilkada.
Dalam hukum administrasi negara, sifat dan tujuan PKPU adalah mengoperasionalkan pelaksanaan Pemilu dan Pilkada. Jadi konteks negara dalam keadaan bergerak, diinternalisasi oleh peraturan KPU. Secara teoritik, jika Hukum Tata Negara mengkaji negara dalam keadaan diam atau staat in rust, maka Hukum Administrasi Negara mengkaji negara dalam keadaan bergerak atau staat in beweging. Kapasitas PKPU, adalah merespon putusan MK agar Pemilu dan Pilkada dapat diselenggarakan sebagaimana yang diperintahkan peraturan perundang-undangan. PKPU menerjemahkan bagaimana tata kelola Pemilu dan Pilkada bisa terus dijalankan.(*)
[1] Sumber : https://kbbi.web.id/lantik. Diakses pada tanggal 14 Oktober 2024, Pukul 09.31 Wita.
[2] Ibid.
[3] Bryan A. Gadner. 2004. Black’s Law Dictionary (Eighth Edition). Page.2220.
[4] Sumber : https://dictionary.cambridge.org/dictionary/english/inauguration. Diakses pada tanggal 14 Oktober 2024, Pukul 09.52 Wita.
[5] Istilah Pj diatur dalam ketentuan Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2023 Tentang Penjabat Gubernur, Penjabat Bupati, Dan Penjabat Wali Kota.
[6] Angka 4 Surat Dirjen Otoda Kemendagri Nomor 100.2.1.3/3530/OTDA yang ditujukan kepada KPU RI, menyebutkan secara eksplisit bahwa terhadap Pelaksana Tugas Kepala Daerah, tidak dilakukan pelantikan, melainkan berdasarkan penunjukan yang dituangkan dalam keputusan. Lihat juga Angka 6 Surat Edaran BKN Nomor 1/SE/I/2021 tentang Kewenangan Pelaksana Harian dan Pelaksana Tugas Dalam Aspek Kepegawaian, menyebutkan jika Pelaksan Harian dan Pelaksana Tugas tidak perlu dilantik dan diambil sumpahnya.
[7] Istilah Pjs diatur dalam ketentuan Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2018 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 74 Tahun 2016 Tentang Cuti Di Luar Tanggungan Negara Bagi Gubernur Dan Wakil Gubernur, Bupati Dan Wakil Bupati, Serta Wali Kota Dan Wakil Wali Kota (Permendagri Nomor 1 Tahun 2018).
[8] Dalam pengangkatan Pjs, tidak dikenal terminologi serah terima jabatan, tapi serah terima pelaksanaan tugas. Lihat ketentuan Pasal 10A ayat (1) Permendagri Nomor 1 Tahun 2018.
[9] Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22/PUU-VII/2009, hlm.68-69. Pengujian ini diajukan oleh Nurdin Basirun, Bupati Karimun, Provinsi Kepulauan Riau.
[10] Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 67/PUU-XVIII/2020, hlm.106. Pengujian ini diajukan oleh Mohammad Kilat Wartabone, Wakil Bupati Bone Bolango Periode 2016-2021, berkaitan dengan masa jabatan Hamim Pao yang menjabat sebagai Bupati Bone Bolango. Lihat juga putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 63/PHP.BUP-XIX/2021, berkaitan dengan sengketa hasil Pemilihan Kepala Daerah Kabupaten Bone Bolango.