JAKARTA – Kabar mengejutkan datang dari Taiwan. Sekitar 300 mahasiswa yang mengikuti kuliah sambil magang di sana, ternyata harus menjalankan kewajiban kerja paksa. Kemenristekdikti langsung melakukan evaluasi terhadap kerjasama pendidikan bertajuk Industry Academia Collaboration (IAC) itu.
Santer diberitakan bahwa 300-an mahasiswa asal Indonesia di Taiwan dipaksa bekerja di pabrik-pabrik industri. Seperti pabrik pembuatan lensa kontak. Diantara mahasiswa itu, saat ini sedang menempuh studi di Hsing Wu University.
Ratusan mahasiswa tersebut dilaporkan hanya menjalani kuliah pada Kamis dan Jumat saja. Kemudian mulai Minggu hingga Rabu, mereka bekerja dengan rata-rata berdurasi 10 jam setiap harinya. Mulai dari pukul 07.30 sampai 19.30 malam. Kondisi ini menyalahi ketentuan dari Departemen Pendidikan Taiwan.
Aturannya adalah pada tahun-tahun awal, para peserta program kuliah sambil magang tidak boleh bekerja. Pada tahun berikutnya mahasiswa diperbolehkan bekerja. Dengan ketentuan tidak boleh dari 20 jam dalam sepekan. Ketentuan tersebut disampaikan oleh Direktor Teknologi dan Vokasional Departemen Pendidikan Taiwan Yang Yu-hui.
Dirjen Pembelajaran dan Kemahasiswaan (Belmawa) Kemenristekdikti Ismunandar mengakui bahwa program kuliah sambil magang bekerja di Taiwan itu adalah kerjasama resmi antara kedua pemerintah. Kerjasama ini baru bergulir sejak November 2018 lalu. Dia memperkirakan saat ini seribuan mahasiswa Indonesia yang memanfaatkan skema perkuliahan ini.
’’Saya sekilas mendengar seperti itu. (Nama programnya, Red) Academia Industry Collaboration (Industry Academia Collaboration/IAC, Red),’’ kata guru besar ITB yang belum lama dilantik sebagai Dirjen Belmawa Kemenristekdikti itu kemarin (2/1). Dia menegaskan Kemenristekdikti bersama pemangku kebijakan terkait, akan mengevaluasi penerapan kerjasama bidang pendidikan bertajuk IAC itu.
Ismunandar menceritakan biaya hidup dan biaya perkuliahan mahasiswa peserta program itu sudah ditanggung pihak Taiwan. Kemudian di sela perkuliahan, peserta program IAC tersebut bekerja atau magang di industri. Dia juga menjelaskan peserta program ini ada yang melalui Kemenristekdikti dan ada pula yang langsung kerjasama dengan pemerintah daerah.
’’Bisa dipastikan (yang menjalani kerja paksa, Red) bukan yang dari Kemenristekdikti,’’ tandasnya. Untuk jalur pengiriman mahasiswa peserta AIC dari Kemenristekdikti, proses seleksinya dilakukan di beberapa tempat. Diantaranya adalah di Politeknik Elektronika Negeri Surabaya (PENS). Sementara diantara daerah yang menjalankan kerjasama pengiriman mahasiswa ke Taiwan adalah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.
Terkait beredarnya kabar ada 300 mahasiswa di Taiwan yang dipaksa ikut kerja paksa, Ismunandar berharap para orangtua tetap tenang. Dia sendiri belum mengetahui identitas mahasiswa yang menjalani program kerja paksa itu. Ismunandar menegaskan Kemenristekdikti bersama Kemenlu dan perwakilan di Taipei akan terus mencari kejelasan kasus ini secepatnya.
Selain itu Ismunandar juga menyampaikan pernyataan resmi dari Hsin Wu University. Mereka membantah terlaj terjadi pemagangan ilegal dan dugaan eksploitasi manusia melalui program IAC. Hsin Wu University memprotes kabar adanya eksploitasi tersebut, karena bisa memperburuk citra kebijakan New Southbound Policy yang digulirkan pemerintah Taiwan.
Mereka lantas menjelaskan gambaran pelaksanaan program IAC. Skemanya adalah kampus merekrut mahasiswa asing yang berkeinginan kuliah tetapi terkendala ekonomi. Sebagai solusinya kampus memberikan pengurangan biaya kuliah dan perusahaan di Taiwan menyediakan kesempatan kerja bagi mahasiswa secara sukarela.
Kampus tetap dituntut untuk aktif melakukan perlindungan atas hak dan kepentingan mahasiswa. Kemudian juga mewajibkan perusahaan mitra untuk mematuhi hukum dan peraturan ketenagakerjaan yang berlaku. Perusahaan tempat bekerja dan kampus dituntut untuk aktif berkomunikasi, untuk menyelesaikan potensi masalah mahasiswa saat bekerja. (wan/lyn/tau)