Tapi saya kecewa. Sekaligus gembira. Ternyata saya tidak berhasil melihat slum. Daerah slum yang diperlihatkan pada saya sama sekali bukan slum. Hanya satu-dua rumah lama. Yang tetangga sekitarnya sudah habis. Sudah diratakan. Sudah jadi lahan yang siap dibangun.
Kalau slum-nya seperti itu bisa disimpulkan: tidak ada lagi slum. Lapisan orang terkayanya tidak terlalu kaya. Lapisan orang miskinnya tidak terlalu miskin. Slum yang saya lihat tinggal rumah lama yang bermasalah. Yang ganti ruginya belum cocok. Masih menunggu penyelesaian. Tapi pada saatnya pasti digusur. Tidak ada istilah berlarut-larut.
Ada aturan waktu untuk “menerima atau digusur”. “Saya dulu tinggal di rumah ini,” ujar Omar. Sambil tiba-tiba menghentikan mobilnya. Di sebelah rumah tua yang sudah kosong. Sudah siap dibongkar.
Ayahnya sudah lama menjual rumah itu. Saat Omar masih remaja. “Di sinilah dulu saya bermain,” katanya. Di kanan-kiri bekas rumahnya itu sudah berdiri perumahan baru. Khas Konya. Khas kota-kota di Turki. Itulah model baru perumahan rakyatnya.
Bentuk rumahnya seperti flat. Empat susun. Atau lima susun. Paling tinggi delapan susun. Satu gedung yang empat lantai berisi 16 keluarga. Tiap lantai hanya untuk empat keluarga. Kalau gedung itu delapan lantai isinya 42 keluarga.
Tiap gedung berjarak dengan gedung lainnya. Jarak itu cukup untuk lalu lintas mobil. Bahkan untuk arena bermain anak-anak. Tidak terlihat deretan rumah susun yang kesannya seperti rumah burung.
Konsep pembangunan perumahannya sangat “sosialis”. Atau “agamais”. Yakni “membangun tanpa menggusur”. Para pemilik rumah di kampung lama terjamin: akan tetap di lokasi itu. Kalau toh harus pindah hanya sementara. Hanya saat flat itu dibangun. Mereka disewakan rumah. Di flat baru yang belum berpenghuni. Dua tahun kemudian mereka pulang kampung. Dengan kampung yang sudah baru.
Begitulah praktik di Turki. Membangun tanpa menggusur. Saya ke Kota Antalya. Yang lebih besar. Juga tidak menemukan slum di Antalya. Mustafa yang kali ini menemani saya. “Saya punya teman yang almarhum bapaknya punya rumah besar. Pekarangannya 1.000 meter persegi. Kampung lama itu direhabilitasi. Di situ dibangun flat-flat modern. Sekarang teman saya itu punya tujuh apartemen di sana,” ujar Mustafa.
Ia sendiri punya apartemen empat kamar. Di pusat Kota Antalya. Saya tidak habis pikir: seorang sopir punya apartemen empat kamar. Di pusat kota. Bukan di kelas Condet atau Depok-nya Jakarta. Saya ingin ke Turki lagi. Ingin mendalami lebih menukik bidang ini: membangun tanpa menggusur. (rom/k15)