KEUNGGULAN suara yang diperoleh para paslon dalam Pilkada Serentak 2020 tak semestinya disambut dengan jemawa berlebihan. Upaya melenggang ke singgasana kekuasaan hasil pesta demokrasi belumlah final selama rekapitulasi belum dirampungkan KPU. Apalagi ketika kebanggaan itu bersumber dari hasil hitung cepat lembaga jejak pendapat, atau hasil perolehan sementara yang terpampang di laman resmi KPU RI.
Meski demikian, perolehan sementara pada Pilkada Bontang 2020 memunculkan sejumlah catatan. Di mana kepala daerah petahana kalah. Hingga Kamis (10/12), dikutip dari laman resmi KPU RI, Neni Moerniaeni yang notabene kepala daerah petahana dengan nomor urut 02, takluk dari rivalnya, Basri Rase. Di Pilkada Bontang 2015, Neni berpasangan dengan Basri Rase sebagai wakilnya.
Dari data sementara ini, Neni tercatat satu-satunya kepala daerah petahana yang kalah di Pilkada Serentak 2020. Di Kabupaten Mahakam Ulu (Mahulu), kepala daerah petahana Bonifasius Belawan Geh unggul atas rivalnya dengan perolehan suara sementara 66,9 persen. Edi Damansyah selaku kepala daerah petahana di Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar), juga menang melawan kolom kosong dengan perolehan suara sementara 70,5 persen. Selanjutnya, FX Yapan selaku kepala daerah petahana di Kabupaten Kutai Barat (Kubar), juga menang atas rivalnya dengan perolehan suara sementara 59,4 persen.
Pengamat politik Universitas Mulawarman (Unmul) Samarinda Lutfi Wahyudi mengatakan, ada dua faktor dari kemenangan sementara Basri Rase yang berpasangan dengan Najirah, istri mantan wali kota Bontang almarhum Adi Darma. Penyebab pertama ialah masyarakat rindu terhadap kepemimpinan trah Adi Darma. Pilwali 2020 ibarat sebuah jembatan harapan baru. Sehingga masyarakat akhirnya kebanyakan menjatuhkan pilihan kepada paslon nomor urut 01 tersebut.
“Kenangan itu biasanya muncul ketika masa telah berlalu,” kata Lutfi kemarin. Pun demikian dengan yang terjadi pada Pilwali 2014. Ketika itu, warga Kota Taman merindukan kepemimpinan trah Sofyan Hasdam. Saat pemerintahan dipegang oleh Adi Darma-Isro Umarghani. Dibuktikan kala itu pesta demokrasi dimenangkan oleh Neni-Basri melalui jalur independen.
“Sebagian merindukan kepemimpinan Sofyan dengan cara memilih Neni,” ucapnya.
Di tengah perjalanan Pilkada Bontang 2020, Adi Darma wafat setelah mendapat perawatan medis beberapa hari akibat terpapar Covid-19. Lantas, tim koalisi mengganti pasangan calon dengan menunjuk Najirah (istri Adi Darma) sebagai penggantinya. “Ada energi simpati yang tertumpah kepada sosok pengganti. Itulah yang dibaca Basri ketika melawan Neni,” sebutnya.
Lutfi menyebut tidak bermaksud Basri melakukan “eksploitasi” dengan kejadian duka yang menimpa almarhum. Tetapi penunjukan itu mengubah menjadi energi positif yang lebih besar.
Itulah menyebabkan siklus dua periode kepemimpinan di Bontang terbilang sulit terealisasi. Untuk diketahui, Sofyan menjabat selama dua periode mulai 2001–2011. Pada pemilihan pertama skemanya masih dipilih melalui DPRD. Baru di periode kedua pemilihan dilakukan langsung oleh rakyat. Disinggung mengenai kesulitan dua periode menjabat kepala daerah karena masyarakat ingin sesuatu yang baru di tiap periode, Lutfi menjawab bisa saja itu terjadi. Tetapi secara garis besar masyarakat Bontang sudah bisa menilai dan mengevaluasi kepala daerah selama satu periode menjabat.
Lutfi menjelaskan, beragam keberhasilan yang diraih kala Neni menjabat. Hal itu dibuktikan dengan banyaknya penghargaan yang didapatkan Kota Bontang. “Itu tidak bisa ditampik. Dari sisi kebijakan Neni bagus,” jelasnya. Saat disinggung faktor kekalahan di paslon nomor urut 02 itu, ialah munculnya rasa percaya diri yang terlalu berlebihan. Ditunjukkan dengan pemilihan wakil Neni, yakni Joni. Lutfi beranggapan pasangan yang diangkat ini kurang menjual. Sehingga menyebabkan turunnya elektabilitas di paslon ini.
“Percaya dirinya over, sehingga lupa ada faktor lain saat kemenangan pada Pilwali 2014 lalu,” urainya. Ditambah isu dinasti politik cukup menggerus elektabilitas Neni. Isu ini muncul ke permukaan sejak sebelum pemilihan. Neni yang saat itu menjabat wali kota, sementara anaknya Andi Faisal Sofyan Hasdam duduk sebagai ketua dewan. Kendati dia dipilih langsung oleh rakyat. “Ini yang menjadi energi negatif sehingga hasilnya seperti ini,” pungkasnya. (*/ak/riz/k8)