kalimantan-timur

Kontribusi Batu Bara Belum Nyata bagi Daerah

Jumat, 29 Januari 2021 | 12:23 WIB
Batu bara diangkut ponton yang setiap hari melintasi Mahakam.

SAMARINDA-Cadangan batu bara Kaltim yang ditaksir 25 miliar ton yang diperkirakan sanggup diproduksi hingga ratusan tahun ke depan, bagaikan pedang bermata dua. Di satu sisi, jadi mesin pendapatan. Di sisi lain, berpotensi jadi sumber kebocoran penerimaan negara hingga pemicu kerusakan lingkungan.

Dengan cadangan miliaran ton batu bara itu, Kaltim harus benar-benar mengkaji aturan dan menguatkan pengawasan. Jika tidak, provinsi ini hanya akan menjadi sentral batu bara dengan jumlah daerah yang dikeruk dan pendapatannya tidak sepadan. Saat ini Kaltim menghadapi beragam persoalan terkait tambang batu bara. Mulai pengawasan penambangan, pendapatan, hingga urusan tambang ilegal jadi pekerjaan rumah.

Memang, kaya sumber daya alam, bisa jadi bumerang tersendiri bagi daerah itu. Akademisi Universitas Mulawarman (Unmul) Herdiansyah Hamzah mengatakan, saat ini skor indeks persepsi korupsi Indonesia adalah 37, atau berada di rangking 102. Turun tiga poin. Indonesia sama dengan Gambia. Ditarik ke persoalan di Kaltim, faktor korupsi yang berkaitan dengan sumber daya alam (SDA) cukup mengkhawatirkan.

"Kalau di Kaltim, fokusnya tetap di korupsi SDA-nya memang, khususnya tambang batu bara. Kebocoran keuangan negara kan banyak di sektor ini," terang lelaki yang akrab disapa Castro tersebut. Karena itu, sambung dosen yang juga bergerak di Pusat Studi Anti Korupsi (Saksi) Fakultas Hukum Unmul ini, yang perlu dibongkar dan jadi pekerjaan rumah adalah soal obral izinnya. Kendati pun kewenangan izin pertambangan minerba sudah ditangani pemerintah pusat, mestinya kepala-kepala daerah yang dulunya mengobral izin itu harus terus dikejar.

"Ini belum termasuk dampak kerusakan lingkungan akibat tambang yang juga mestinya dihitung sebagai kerugian negara. Belum lagi tambang ilegal dan lain sebagainya," sebutnya. Memang persoalan tambang ilegal ini jadi PR besar. Tambang tak berizin tersebut kerap menambang asal-asalan. Tak menaati peraturan dan kerap menimbulkan masalah. Mulai bencana lingkungan langsung hingga lubang tambang yang menganga.

Karena itu, disebut Castro, kalau tambang ilegal, memang harus dengan pendekatan represif melalui penegakan hukum pidana.

"Selama penegakan hukumnya lemah, ya akan terus terjadi secara massif. Pada sisi korupsinya, perlu ada upaya untuk menelusuri kemungkinan aparat hukum dan pemerintah juga turut bermain. Misalnya dimulai dari menangkap gejala, kenapa mereka cenderung mendiamkan kasus-kasus illegal mining ini. Padahal kan di depan matanya," tegas pria berkacamata tersebut. Dia melanjutkan, sedangkan untuk royalti, ada dua hal yang mesti dibenahi. Pertama, di sektor hulu perizinannya yang diperketat, termasuk akurasi hitungan persentase royalti dengan pengerukan.

"Kedua, soal pengawasannya. Coba bayangkan inspektur tambang hanya 28 orang untuk mengawasi 1.404 izin, kan mustahil? Anehnya, kalau SDM pengawasan lemah, kenapa bukan itu yang dibenahi dari dulu? Jangan-jangan pengawasannya memang sengaja dibuat lemah biar mudah dirampok?" tanya Castro. Dalam laporan yang disampaikan Dinas ESDM Kaltim, pada ini kuota batu bara untuk izin usaha pertambangan di Kaltim sebesar 77,5 juta ton batu bara. Rata-rata pemanfaatan batu bara yang dikeruk dari perut Kaltim diperuntukkan untuk kelistrikan sebesar 83 persen.

Selebihnya untuk industri semen, pupuk, tekstil pulp, metalurgi, briket dan lainnya. Selain kebutuhan dalam negeri, batu bara diekspor dalam rangka kontribusi terhadap penerimaan negara. Dalam laporan Kementerian ESDM, negara tujuan ekspor batu bara antara lain Tiongkok (51 juta ton), India (46 juta ton), dan Jepang (22 juta ton).

Kepala Dinas ESDM Kaltim Christianus Benny mengungkapkan, meski cadangan batu bara di Kaltim cukup besar, bukan berarti energi fosil bisa dikeruk habis-habisan. Sebab, saat ini pasar energi seperti Eropa sudah mulai meninggalkan energi fosil dan beralih ke energi terbarukan. Karena itu, saat ini proyeksinya tak lagi energi fosil. Tetapi yang bio energi. Sekarang pun di Kutim sedang ada kerja sama untuk mengubah batu bara jadi metanol sebagai bentuk hilirisasi pertambangan.

Yang kerap menjadi masalah dan meninggalkan lubang tambang, sambung dia, adalah tambang ilegal. Mereka pun kerap mengeruk dalam konsesi perusahaan tambang yang memiliki izin. “Soal illegal mining sudah koordinasi sama kejaksaan, kerja sama untuk pemberantasan illegal mining. Sebab, kami tidak bisa melakukan penindakan. Kami bersurat ke dirjen. Yang diharapkan juga, para pemilik lokasi yang ditambang ilegal itu lapor ke polisi," katanya. Di sisi lain, penerimaan dana dari pertambangan untuk Kaltim juga dianggap kurang sepadan. Ramainya lalu lalang ponton di Sungai Mahakam tak sebanding dengan royalti yang diterima. Pada 2019 saja, royalti 16 persen dari batu bara hanya Rp 784 miliar. Kelemahan aturan juga diakuinya. Sebab, penghitungan masih berdasarkan self assessment. Pihaknya pun tengah menggodok kebijakan, agar batu bara benar-benar berkontribusi langsung dengan pendapatan asli daerah (PAD) Kaltim dan ekonomi secara keseluruhan. (nyc/riz/k16)

Tags

Terkini

Siapkan Formasi Fresh Graduate Pindah ke IKN

Rabu, 24 Januari 2024 | 23:00 WIB

Truk Ambles di Drainase Proyek DAS

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:31 WIB

Pengedar Sabu Diciduk Polisi saat Terlelap di Kamar

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:30 WIB

Anies Prioritaskan Ketersediaan Lapangan Kerja

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:27 WIB

Jepang vs Indonesia, Maju Tak Gentar...!!

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:23 WIB

ASTAGA..!! Ada 26 Motor Hilang di Depan BIGmall

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:16 WIB

Menantu Luhut Jadi Komisaris Utama Pindad

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:11 WIB

Babinsa Sungai Dama Antar Warga ke Rumah Sakit

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:09 WIB

18 Kecamatan di Kukar Kekurangan Pengawas TPS

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:08 WIB

Algaka Pelanggar di Kukar Mulai Ditertibkan

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB

Karena Pemilu, Kasus Korupsi KPU Mahulu Terhambat

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB