Dan sisa-sisa warisan penjajah itu masih bertahan sampai generasi sekarang. Menurut Wiguno, guru besar politik dan sejarah dunia seperti Ben Anderson pernah bilang, diskriminasi rasial itu adalah produk konstruksi sosial politik yang terkait dengan sejarah kolonial Belanda.
“Sayangnya, kita tak mau belajar. Padahal aku lahir di Samarinda, minumnya air Mahakam. Tumbuh dengan asupan makanan dari tanah yang sama, tetapi orang-orang tetap menganggap aku seolah pendatang dari negara lain. Aku ini WNI sejak lahir, bahkan sebelum lahir,” gumamnya setengah pias.
Aku jadi bisa memahami orang-orang semacam Mas Wieg jadi tertutup, cenderung introvert. Tak terlalu akrab dengan tetangga, tak terlalu punya banyak teman, sibuk pada bisnisnya sendiri. Tentu itu bukanlah kejahatan. Orang-orang Melayu yang lebih dulu melekatkan streotype kepada mereka. Tionghoa meskipun merupakan nebula kebudayaan yang memberi banyak bagi Nusantara sebagaimana Islam dan India, tetap menjadi entitas yang paling banyak didiskriminasi.
***
Tacik sempat mengabari kalau Mas Wieg sakit dua bulan lalu.
“Gak apa-apa, cuma sakit biasa. Cuma kelelahan habis belanja barang dagangan,” ucap Wiguno di telepon, dan biasa sambil tertawa terkekeh.
Karena tertawanya itu aku jadi tak terlalu khawatir, dan berkata belum bisa menjenguk sebab sedang berada di Hulu Mahakam. Dia sempat menanyakan kabar anak-istriku. Dibilang di toko sudah disediakan aneka makanan ringan, hadiah untuk anak-anakku. Kukatakan kepadanya keluarga di rumah baik-baik saja, sehat.
“Nantilah setelah kau sembuh, kami sowan ke rumahmu. Kubawakan jukut salai, jukut pija, dan kerupuk gandum Kota Bangun,” kataku. Itulah meskipun terkesan tertutup, sekali berteman pertemanannya akrab dan hangat.
Rupanya sebelum wafat Mas Wieg sempat berpesan ke Tacik untuk tak memberi tahu bahwa penyakitnya makin parah. Sesuatu menggerogoti paru-parunya, kemudian merenggut nyawanya. Dari Taciklah aku dapat cerita, ia tak mau merepotkan orang lain, termasuk tetangga. Sebab itu dia lebih memilih kremasi daripada dikubur. Katanya biarlah tanah untuk ruang mereka yang hidup saja. Orang mati tak perlu banyak lahan, hanya perlu sedikit tempat di dalam kenangan.
Di tepi Jembatan Mahakam itu aku berpegangan di pagar lajur pejalan kaki. Pagar itu semacam pipa-pipa besi berwarna kelabu. Tacik membuka kain pembungkus guci abu. Dari dalam guci keramik itu, ada kantung putih wadah terakhir abu Wiguno.
Juga kelopak melati dan bunga krisan yang sudah mengering, dicampurkan di dalamnya. Abu itu ditebarkannya dari atas jembatan. Sebagian sampai ke air, sebagian diterbangkan angin. Aku bayangkan abu itu timbul tenggelam di sungai itu, mengapung terombang-ambing dipermainkan gelombang kemudian menyebar di muara-muara delta Mahakam. Mengalir jauh sampai ke Selat Makassar. Mungkin sampai ke surga.
Angin di atas jembatan menderu tak habis-habis.
Air mata leleh di pipi tacik. Ia masih kelihatan tangguh. (***/dwi/k8)