kalimantan-timur

Sanksinya yang Lemah Dimanfaatkan dan Jadi Celah

Selasa, 15 Februari 2022 | 09:06 WIB

Masih banyak perusahaan batu bara yang belum memenuhi kewajiban memasok keperluan dalam negeri. Awal tahun, pemerintah pusat sempat mengeluarkan larangan ekspor batu bara. Hal itu imbas dari keperluan pasokan dalam negeri yang tak tercukupi.

Akademisi Fakultas Ekonomi Universitas Mulawarman Samarinda Hairul Anwar memaparkan sejumlah hal yang harus dibenahi terkait kewajiban pasokan batu bara untuk kepentingan dalam negeri (DMO).

Dia mengungkapkan kelemahan pemerintah adalah data dan sanksi. Saat ini data yang dimiliki pemerintah terbilang lemah dan menjadi celah. Seperti data riil produksi dan bagaimana mereka mendistribusi. Padahal, sebenarnya masalah tak dipenuhinya DMO ini bukan barang baru. “Lalu sanksinya juga lemah. Kalau berbicara tentang policy-nya, memang celahnya cukup besar,” papar dia.

Pemerintah harusnya bisa lebih tegas kepada para pengusaha. Mengingat berbicara soal tambang batu bara, ini adalah industri yang pengusahanya datang. Jadi industrinya di tempat batu bara itu. Maka, pemerintah di tempat pertambangan, juga harus memberikan sanksi tegas.

Apalagi nilai tawar untuk memenuhi DMO tidak sebesar dibandingkan jika melakukan bisnis ekspor batu bara ke luar negeri. Sebab para pengusaha dari segi ekonomi pasti mencari profit. Tentu saja menjual batu bara dengan harga USD 188 per ton, lebih menguntungkan dibandingkan menjual dengan harga USD 70.

Logika sederhananya tentu seperti itu. Hairul melanjutkan, tapi permasalahan, tak terpenuhinya DMO bukan perkara harga saja. Tetapi juga hal lain. Misalnya permasalahan spesifikasi batu bara yang akan disetor untuk keperluan dalam negeri.

Ada kualitas batu bara yang harus dipenuhi untuk jadi pasokan. Namun, fasilitas blending batu bara belum tentu semua dimiliki perusahaan tambang. Menurutnya, persoalan itu harusnya ada dialog kedua belah pihak. Antara pengusaha dan pemerintah untuk cari solusi.

Di sisi lain, Hairul juga menyoroti soal transparansi data dari pemerintah. Datanya tak boleh ditutup. Secara berkala seharusnya capaian juga harus dijabarkan. Transparansi data pertambangan memang menjadi keluhan. Bahkan Jaringan Advokasi Pertambangan (Jatam) Kaltim pun harus menggugat untuk mendapat informasi kontrak pertambangan.

Pradarma Rupang, dinamisator Jatam Kaltim sekaligus penggugat menyatakan gugatan dilayangkan kepada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Januari lalu, gugatan mereka dikabulkan dan merupakan kemenangan rakyat yang menegaskan bahwa transparansi dalam praktik pertambangan harus jelas sejak awal pengajuan hingga perpanjangan izin.

Rupang mengatakan, poin putusan hakim sangat penting bagi publik karena membatalkan Penetapan Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) Kementerian ESDM Nomor 001 Tahun 2020 tentang Klasifikasi Informasi yang Dikecualikan Sub Sektor Mineral dan Batu Bara tertanggal 24 Februari 2020.

“Putusan ini disebutkan dalam kedua gugatan, yaitu membatalkan dokumen kontrak sebagai klasifikasi yang dikecualikan dibuka oleh publik. Artinya pemerintah dalam hal ini Kementerian ESDM tidak lagi boleh menutup semua dokumen kontrak perusahaan tambang batu bara dan mineral,” tegasnya.

Dia mengatakan, hasil gugatan itu baru tahap awal. Sebab, seharusnya semua pembahasan evaluasi harus transparan. Tidak hanya kontrak karya. Karena sampai sekarang pemerintah tak transparan. “Sampai sekarang kami enggak tahu perusahaan apa saja yang perpanjangan setelah UU Minerba yang baru, karena data itu tak dibuka. Karena hanya otoritas yang tahu,” jelas dia.

Menurutnya, banyak pelanggaran yang sudah bertumpuk soal pertambangan batu bara ini. Mulai perampasan lahan dan peraturan soal mengenai administrasi itu juga dilanggar. “Ini memanfaatkan momentum harga batu bara naik, jadi administrasi dikebelakangkan. Beberapa kasus juga memanfaatkan momen ketika wilayah saat ini tak punya kewenangan. Sebab semua diatur pusat. Kebijakan yang dikeluarkan provinsi tidak krusial lagi,” bebernya.

Rupang pun mengambil contoh di bidang masalah administrasi misalnya, perusahaan pertambangan bisa beroperasi tanpa izin lingkungan atau rencana kerja dan anggaran belanja (RKAB) dengan alasan masih diurus. Itu contoh manuver perusahaan tambang mengejar momentum batu bara mahal. Hasilnya, mereka pun menambang dan masyarakat sekitar yang langsung dirugikan. (rom/k16)

Tags

Terkini

Siapkan Formasi Fresh Graduate Pindah ke IKN

Rabu, 24 Januari 2024 | 23:00 WIB

Truk Ambles di Drainase Proyek DAS

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:31 WIB

Pengedar Sabu Diciduk Polisi saat Terlelap di Kamar

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:30 WIB

Anies Prioritaskan Ketersediaan Lapangan Kerja

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:27 WIB

Jepang vs Indonesia, Maju Tak Gentar...!!

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:23 WIB

ASTAGA..!! Ada 26 Motor Hilang di Depan BIGmall

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:16 WIB

Menantu Luhut Jadi Komisaris Utama Pindad

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:11 WIB

Babinsa Sungai Dama Antar Warga ke Rumah Sakit

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:09 WIB

18 Kecamatan di Kukar Kekurangan Pengawas TPS

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:08 WIB

Algaka Pelanggar di Kukar Mulai Ditertibkan

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB

Karena Pemilu, Kasus Korupsi KPU Mahulu Terhambat

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB