Indonesia akan menghadapi bonus demografis pada 2045. Oleh sebab itu, seluruh lini pemerintahan mempersiapkan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas dan produktif. Salah satu cara dalam mempersiapkannya ialah mencegah adanya anak stunting. Anak stunting terbukti disebabkan oleh gizi buruk. Asupan gizi dari sejak masih janin hingga umur 2 tahun tidak terpenuhi.
Menurut Sub Koordinator Seksi Kesehatan Keluarga dan Gizi Masyarakat Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Samarinda Rudy Agus Riyanto, anak stunting memiliki beberapa dampak secara fisik maupun kesehatan dalam jangka panjang.
"Pertama, jelas secara fisik. Mohon maaf untuk orang yang pendek, bukannya merendahkan, tapi kita harus jujur. Banyak pekerjaan sekarang yang memberikan persyaratan tinggi badan,"ujar Rudy.
Salah satu contohnya ialah profesi atlet olahraga. Seluruh atlet diharuskan memiliki tinggi badan sesuai dengan syarat berlaku. Hal tersebut agar seluruh atlet di Indonesia mampu memiliki daya saing di kancah internasional. Selain itu, perkembangan otak yang lambat. Rudy mengakui, anak yang memiliki gangguan gizi, masih kelas gizi kurang saja, memiliki sel di dalam otak berkurang secara drastis.
"Jangankan anak stunting, anak-anak yang memiliki gangguan gizi, kelas gizi kurang, itu pernah diteliti CT scan, volume sel otaknya berkurang. Kalau di atas (kelas gizi buruk) lagi ya, silahkan berpendapat,"lanjutnya.
Terakhir, ada potensi penyakit metabolik yang akan diderita di masa tua bagi anak stunting. Rudy menyatakan, terbukti bahwa anak-anak yang mengalami gangguan gizi akan mendapatkan penyakit metabolik. "Penyakit metabolik itu, sepanjang hidupnya harus meminum obat setiap hari. Sampai kata dokter itu nggak bisa sembuh. Itu akibat gangguan gizi pada saat balita,"tegasnya.
Oleh sebab itu, Dinkes Samarinda dan OPD di lingkungan Pemkot Samarinda lainnya berjibaku untuk mencegah adanya anak stunting demi menyongsong bonus demografi tahun 2045 kelak. (adv/iz)