Pemerintah daerah diminta segera melakukan aksi mitigasi dan kesiapsiagaan menghadapi kemarau yang terjadi hingga dua bulan ke depan. Lahan pertanian berisiko mengalami puso alias gagal panen, hingga ancaman karhutla.
SAMARINDA–Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengingatkan adanya ancaman gagal panen pada lahan pertanian tadah hujan imbas fenomena el nino, dan Indian Ocean Dipole (IOD) positif yang mengakibatkan kekeringan. Situasi ini berpotensi mengganggu ketahanan pangan nasional. Namun, dibanding beberapa daerah di Indonesia yang cukup ekstrem, situasi lebih adem diprediksi terjadi di Kaltim.
Ditemui (1/8), Kepala UPTD Proteksi Tanaman Pangan dan Hortikultura Dinas Pertanian Kaltim Rahmat Sutarto mengungkapkan, berbeda dengan daerah lain di Indonesia, Kaltim hanya akan mengalami kemarau selama tiga bulan. Terhitung mulai Juli, kemudian Agustus, dan puncaknya September. “Karena dilewati garis khatulistiwa, jadi di sini (Kaltim) hujannya lebih banyak daripada di daerah lain di Indonesia," ungkapnya.
Meski demikian, dia menyebut, tanaman padi sawah tetap akan mendapat perhatian untuk menghadapi perubahan iklim. Terlebih saat ini, petani padi sudah melewati musim tanam. Bahkan umur padi diperkirakan baru sekitar 30–40 hari. "Situasinya Kaltim itu cenderung lebih banyak hujan dibandingkan pulau-pulau lain di Indonesia. Sekarang kita mengalami perubahan iklim gara-gara pemanasan global. Lalu muncullah istilah el nino. Itu terjadi setelah iklim rusak," katanya.
Belum turunnya hujan selama hampir tiga pekan terakhir disebut dia masih kategori wajar. "Tetapi ini dibayang-bayangi fenomena el nino yang cenderung membuat musim kemarau menjadi lebih parah. Artinya lebih kering dan lebih panas dan dampaknya pertama kali yang merasakan adalah dunia pertanian," bebernya. Di Kaltim, sambung dia, lebih dari 90 persen lahan pertanian adalah tadah hujan. Kehadiran irigasi teknik saat ini masih sangat sedikit. Sehingga kondisi perubahan iklim dan adanya fenomena alam membuat lahan lebih rawan bila dibanding daerah Jawa yang irigasi teknisnya lebih banyak dan bagus.
"Tapi sampai sementara ini, kami belum menerima laporan dari lapangan yang melaporkan terjadinya kekeringan. Walaupun hujan beberapa hari ini sudah mulai sangat berkurang," urainya. Dia menambahkan, situasi iklim di Kaltim paling sulit untuk diramal. "Walaupun secara teori seperti itu (akan mengalami kekeringan ekstrem). Tapi kadang-kadang yang terjadi enggak seperti itu juga. Kadang-kadang masih ada hujan. Tapi tetap kami waspada, karena secara teori kita memang betul-betul memasuki musim kemarau dan secara nasional akan ekstrem dengan fenomena el nino," sebutnya.
Bicara lumbung padi di Kaltim, Rahmat menyebut lokasinya masih berada di Kabupaten Kutai Kartanegara. Kemudian disusul Kabupaten Paser dan Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU). Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Kaltim 2022, kontribusi padi gabah giling Kukar memiliki kontribusi hingga 40 persen, kemudian Paser 20 persen dan PPU 19 persen. Sementara 17 persen sisanya disumbang daerah lainnya.
"Kebiasaan Kaltim karena tadah hujan jadi petani itu biasanya agak gembleng. Kemarin itu kan masih banyak hujan, bisa jadi kemungkinan besar rata-rata sudah menanam. Mungkin saat ini sudah umur sekitar sebulan," terangnya. Risikonya bila iklim terjadi sesuai ramalan, maka kemungkinan akan terjadi banyak kegagalan panen. Menurutnya, upaya yang telah dilakukan adalah melakukan sosialisasi kepada masyarakat, dan bila memang ada laporan bisa segera jadi atensi.
"Kami ada namanya sosialisasi DPI (dampak perubahan iklim). Itu sebagai upaya menyadarkan masyarakat petani tentang kerusakan iklim. Sudah diberi pemahaman dan harus apa kalau itu terjadi," sambungnya. Kemudian ada, kegiatan yang disebut gerda atau gerakan pengendalian. Ketika ada laporan lapangan bahwa di suatu daerah terjadi banjir, maka mereka datang untuk membantu meringankan dampaknya. Seperti gerakan gotong royong untuk memperluas parit-parit yang menghambat laju air.
"Nah, nanti ketika kekeringan, juga ada kegiatan seperti itu. Misalnya kalau lokasinya memang dekat dengan sumber air, bisa jadi akan dilakukan pompanisasi. Misalnya di sawah itu kebetulan dekat dengan sungai, tetapi tidak ada saluran irigasi ke sawah jadi nanti bisa dengan pompanisasi," tuturnya. Sementara itu, terkait tanaman palawija, Rahmat menyebut, golongan tersebut merupakan tanaman pangan kedua setelah padi.
"Ada jagung, ubi, dan, kedelai. Dan sebenarnya mereka sedikit lebih tahan kekeringan daripada padi sawah. Dan Kaltim yang banyak ditanam itu cuma jagung manis, kedelai sedikit, kacang hijau sedikit, kacang tanah sedikit, ubi kayu juga ada tapi tidak dalam skala besar," jelasnya. Berkaca dari kebiasaan petani, penanaman jagung manis merata ditanam pada skala besar ketika menjelang tahun baru. Kendati setiap saat juga ada yang menanam spot-spot. Namun bila sudah mendekati pergantian tahun, penanaman serentak dengan jumlah baru dilakukan.
"Mereka (petani) sudah berhitung pas malam tahun baru itu bisa dipanen. Jadi sekitar November akan ada penanaman skala sangat luas. Kalau cuacanya tidak berubah, saya enggak tahu petani itu berani nanam atau tidak. Karena tanaman di umur muda sangat memerlukan air," ungkapnya. Pada bagian lain, Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kaltim Agustianur menuturkan, kemarau disertai fenomena el nino akan berdampak pada kekeringan serta kebakaran hutan dan lahan.
Dari hari ke hari, pihaknya terus melakukan mitigasi di seluruh kabupaten/kota di Kaltim. "Yang menjadi perhatian serius saat ini adalah Kabupaten Berau. (Berau) setidaknya memiliki 8.477 hektare hutan gambut. Baru-baru ini kebakaran lahan dan hutan (karhutla) sudah terjadi di Berau," terangnya. Dari Jakarta, dalam keterangannya resminya kemarin, Kepala BMKG Dwikorita Karnawati menyampaikan, fenomena el nino dan IOD Positif yang saat ini terjadi, membuat musim kemarau menjadi lebih kering dan curah hujan pada kategori rendah hingga sangat rendah. Jika biasanya curah hujan berkisar 20 milimeter per hari, maka pada musim kemarau ini angka tersebut menjadi sebulan sekali atau bahkan tidak ada hujan sama sekali. "Puncak kemarau kering ini diprediksi akan terjadi di Agustus hingga awal September dengan kondisi akan jauh lebih kering dibandingkan tahun 2020, 2021, dan 2022," terangnya. (riz/k8)