BALIKPAPAN-Skandal laporan pajak fiktif kembali diungkap Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Kalimantan Timur dan Utara (Kanwil DJP Kaltimtara). Kasus tersebut diduga dilakukan MA, karyawan PT AFS yang berada di Kutai Kartanegara (Kukar). MA yang kini ditetapkan tersangka, diduga sengaja menggunakan faktur pajak yang tidak berdasarkan transaksi sebenarnya, dan/atau dengan sengaja tidak menyetorkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang telah dipungut.
Akibat ulah MA, potensi kerugian negara mencapai Rp 703 juta. Dari keterangan tertulis Kanwil DJP Kaltimtara (26/9), PT AFS diketahui telah menggunakan faktur pajak dari penerbit faktur pajak yang Tidak Berdasarkan Transaksi Sebenarnya (TBTS) atas transaksi perdagangan solar HSD (High Speed Diesel) industri. Faktur pajak yang digunakan dari beberapa perusahaan yaitu PT IPM, PT GPI, PT BBM, PT CAC, PT BEJ, PT MPL, PT KCE dan PT SPL, adalah faktur pajak dari perusahaan penerbit faktur pajak TBTS.
“Selain itu, diperoleh fakta bahwa tersangka MA mengetahui perolehan/pembelian faktur pajak TBTS tersebut tidak disertai dengan penerimaan barang,” kata Teddy Heriyanto, Kepala Bidang (Kabid) Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Kanwil DJP Kaltimtara. Dia melanjutkan, penggelapan pajak yang dilakukan MA melalui PT AFS, dilakukan selama 15 bulan. Kurun waktu September 2018 hingga Desember 2019 di Kukar.
Akibat tindakannyai, MA melalui PT AFS diduga kuat telah melanggar Pasal 39A huruf a dan/atau Pasal 39 ayat (1) huruf i Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Pemulihan kerugian pada pendapatan negara yang harus dibayar tersangka sebesar Rp 703.989.567. Perbuatan pidana yang dilakukan MA dapat diancam dengan pidana penjara paling singkat 2 tahun dan paling lama 6 tahun. Serta denda paling sedikit 2 kali jumlah pajak dalam faktur pajak. Dan paling banyak 6 kali jumlah pajak dalam faktur pajak. “Penanganan tindak pidana di bidang perpajakan ini merupakan sinergi antara Kanwil DJP Kaltimtara, Polda Kaltim, Kejaksaan Tinggi (Kejati) Kaltim, dan Kejaksaan Negeri (Kejari) Kukar. Yang mendukung upaya penegakan hukum untuk memberikan rasa keadilan dan kepastian hukum kepada seluruh wajib pajak,” ungkapnya.
Selain itu, sambung dia, dengan mengedepankan asas ultimum remedium serta untuk memberikan deterrent effect, DJP secara konsisten melakukan penanganan tindak pidana di bidang perpajakan yang merugikan penerimaan negara. “Harapannya, kesejahteraan nasional dapat tercapai dengan sikap gotong royong wajib pajak untuk membangun Indonesia yang lebih maju,” katanya.
Dia melanjutkan, Tim Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Kanwil DJP Kaltimtara telah melakukan pelimpahan tanggung jawab tersangka dan barang bukti kepada Kejati Kaltim di Kejari Kukar, 21 September lalu. Pelimpahan tahap II ini, dilakukan PPNS Kanwil DJP Kaltimtara melalui Tim Korwas Ditreskrimsus Polda Kalimantan Timur. “Untuk diserahkan ke Kejari Kukar,” katanya. Untuk diketahui, sebelum kasus MA, modus serupa diungkap Kanwil DJP Kaltimtara, Juni lalu.
Pelaku bernama Jimmy selaku wakil direktur CV Adji Putra (AP), langsung ditahan tim penuntut umum ke Rutan Klas IIA Sempaja, Samarinda. Dalam keterangannya kala itu, Plt Kepala Bidang (Kabid) Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Kanwil DJP Kaltimtara Budi Hernomo mengatakan,
tersangka melakukan praktik penyampaian surat pemberitahuan masa pajak pertambahan nilai (SPT PPN) yang isinya tak benar atau tak lengkap. Praktik lancung itu terjadi sepanjang Januari-Desember 2015.
“Caranya, tidak menyetorkan pajak yang sudah dipotong atau dipungut dari beberapa kegiatan yang ditangani CV AP yang bergerak di bidang konstruksi,” ungkapnya. Dalam kasus tersangka Jimmy ini, kerugian pada pendapatan negara mencapai Rp 476,8 juta. Sebelum ditingkatkan kasusnya, Kanwil DJP Kaltimtara, sambung Budi, sudah menerapkan ultimum remedium atau penerapan pidana sebagai sanksi pamungkas dalam perkara ini.
Sebelum pidana diterapkan, tim PPNS sudah mengimbau tersangka untuk menyetorkan kekurangan pokok pajak beserta denda dari temuan tersebut. Namun, tersangka tak menunjukkan bukti-bukti dari kejanggalan pajak yang dibayarkan perusahaannya. Di sisi lain, perusahaannya justru mengungkap data pajak yang dibayarkan bukan seperti yang terdapat di data Kanwil DJP Kaltimtara.
“Jumlahnya sebesar Rp 856 juta. Bukan seperti yang tercatat di data DJP,” lanjutnya. Pemeriksaan pun berlanjut, tersangka selaku wakil direktur CV AP ternyata mendapat mandat dari perusahaannya untuk mengurus pajak tersebut namun justru dimanfaatkan secara pribadi. (kip/riz)