Aku mengibaratkan diriku sebagai merpati betina. Dengan sedikit gerakan, aku bisa menarik perhatian. Apalagi dengan kelentikan kepakan anggun sayapku, setiap pasang mata merpati jantan yang sedang terbang akan mendatangiku.
Aku sudah memiliki pasangan. Begitu juga merpati jantan. Kami bertekad keluar dari kandang untuk mencari penghidupan. Ah, alasan klise itu yang sering kali dipakai oleh kebanyakan orang untuk membenarkan kesalahan. Pokoknya aku punya pesona untuk memikatnya. Tak berlebihan jika kusandingkan diriku serupa Cleopatra yang memikat Julius Caesar.
Suatu sore, kami sedang bercengkerama di sebuah taman. Jauh dari jangkauan kandang kami. Udara segar yang diciptakan dari beberapa pohon perindang membuat suasana makin syahdu. Semilir angin menerbangkan daun-daun kecil yang jatuh.
“Kak, aku sudah bosan jadi guru terus. Setiap hari harus berkutat dengan administrasi. Harus tunduk pada aturan kepala sekolah. Harus memenuhi kepentingan dominasi. Aku, kan, juga punya pendapat. Apa pendapatku tidak rasional? Tak mungkin, kan? Kakak tahu sendiri.”
“Sabar, Dik. Semua butuh proses.”
“Dari dulu selalu bilang begitu, Kak. Kapan aku bisa punya kuasa sendiri? Ayolah, Kak! Pokoknya aku ingin segera naik jabatan!”
Aku tahu bahwa pasangan merpati jantan ini sudah lama sakit-sakitan. Tak bisa terbang jauh. Ke mana-mana perlu ditolong. Aku memanfaatkan ini. Biar bagaimana pun kebutuhan biologis harus terpenuhi. Aku sigap menjadi tempatnya. Setiap pertemuan, kami selalu menyempatkan.
“Aku sudah menyerahkan segala. Kenapa permintaanku tak kunjung dipenuhi, Kak?”
“Baik. Besok akan segera kuproses.”
“Jangan hanya diproses dong. Diwujudkan. Aku tak ingin jawaban diplomatis begitu. Macam wakil rakyat yang ada di negara itu saja. Alih-alih memenuhi janji, hanya sekadar menutupi. Agar rakyat tak banyak protes. Maklum, di negara itu, kan, demokrasi sudah sedemikian ngawur. Semua diatasnamakan demokrasi. Padahal, belum tentu demokrasi lebih baik. Negara tetangganya penganut diktator malah lebih bagus. Pemimpinnya lebih peduli pada bangsa dan negara. Kemajuan begitu pesat. Tak banyak cing-cong. Tak banyak proses. Segala keinginan demi kemajuan dapat diwujudkan.”
Ia terdiam.
“Kok, diam? Tidak setuju? Apa permintaanku begitu sulit?”
“Aku diam bukan tak setuju. Aku menimbang langkah apa yang harus kulakukan. Siapa saja orang yang akan kutemui. Permintaanmu tidak sulit. Tapi aku juga punya pimpinan. Harus bisa mengambil hatinya. Harus bisa mencari ketepatan alasan. Kau tahu, kan? Sekarang ini tahun politik. Banyak orang mengambil peluang. Banyak orang memiliki kepentingan. Banyak orang menghalalkan segala cara. Meskipun, aku juga sering begitu. Tidak jarang yang kulakukan jauh dari kesan halal. Aku sedang berpikir bagaimana permintaanmu mendapatkan persetujuan dominasi juga. Seolah-olah semua bisa mendapat untung dari kenaikan jabatanmu.”
Aku terdiam.