“Kenapa kamu jadi diam?”
“Aku sedang mencerna.”
“Apakah sulit argumenku dicerna?”
“Tidak juga. Tapi sarat akan kepentingan. Kompleksitas birokasi di sana begitu, ya?”
“Ya, namanya juga negara demokrasi.”
“Baiklah, Kak. Aku akan menunggu.”
Selepas pertemuan itu, kami terbang bersama mencari tempat hinggap yang nyaman. Jauh dari setiap pandang yang mencurigakan. Biar merpati, kami juga perlu privasi. Kami mendatangi hotel berbintang lima di salah satu kota.
“Ada yang bisa dibantu?” ucap seorang resepsionis dengan senyum yang seakan dipaksakan, tahu bahwa pelayanannya sekadar mendapat upah, tak peduli penyewanya pembuat dosa.
“Kami ingin pesan kamar.”
“Baik, atas nama siapa?”
“Haidar.”
Administrasi segera dilakukan oleh petugas resepsionis. Selanjutnya, kami diberikan kunci kamar. Kami berjalan memasuki kamar mewah.
Ini bukan pertama kalinya kami menyewa kamar hotel. Ingatanku tak mampu mengingat secara kuantitatif lagi. Selama kami mau dan perlu, gampang sekali diwujudkan. Harga bukan penghalang. Partnerku memiliki gaji melimpah. Lebih tepatnya bukan gaji. Insentif. Persentase proyek. Pokoknya uang yang didapatnya amat sangat melimpah.
“Kapan istrimu berobat lagi, Kak?” tanyaku penuh perhatian.
“Rencananya minggu depan.”