“Harus selalu diantar ya?”
“Begitulah, kanker serviksnya sudah masuk stadium 4. Harus rutin kontrol dan kemoterapi.”
“Kasihan juga ya, Kak.”
“Mau gimana lagi. Emang sudah nasibnya begitu.”
Sebenarnya aku tak tega juga mengkhianati seorang wanita yang sedang sakit akut. Tapi apalah dayaku. Aku menginginkan jabatan. Lelaki ini adalah jalanku bisa meraih jabatan. Pasalnya, dia kerap membeli dan menjual jabatan. Dia bisa seperti sekarang juga karena membeli jabatan. Dia harus membayarnya kepada pimpinan yang lebih tinggi. Melalui proyek, persentase akan dibagi berdasar hierarki. Tentu saja jabatan lebih besar akan mendapatkan lebih banyak. Dia akan menjual jabatan di bawahnya berdasar perolehan yang akan didapat. Tapi tidak berlaku buatku. Aku membayar dengan cara lain. Bukan dengan uang.
“By the way, tadi sudah pesan makan malam, ya, Kak?”
“Sudah. Tapi sudah bilang sekalian lewat resepsionis. Kenapa emangnya?”
“Ya, kalau emang belum, kan, bisa pesan sekarang.”
Tak berapa lama, pintu diketuk. Aku masih bermalasan di dalam selimut. Kak Haidar segera berpakaian dan berjalan mendekati pintu. Dia membuka dan mengintip. Pintu terpaksa didorong dan masuklah seorang petugas berseragam sedang melakukan inspeksi.
“Siapa yang bersama Anda?” tanya petugas.
“Tak perlu tahu. Kau tak perlu campuri urusanku. Atau kau lupa siapa aku?”
“Maaf, Pak. Saya harus memastikan Bapak tidak dalam bahaya. Siapa tahu orang yang sedang bersama Bapak saya kenal. Siapa tahu juga mengancam keselamatan Bapak. Boleh saya lihat, Pak?”
“Tidak perlu.”
“Saya memaksa, Pak.”
Tanpa izin lagi, petugas segera menghampiriku yang tenggelam dalam selimut. Hanya tampak kepala sampai leher saja. Petugas mengangguk dan melemparkan senyum. Memastikan bahwa aku tidak memicu ancaman terhadap Kak Haidar. Selepas menyapaku, petugas itu lalu meminta maaf dan permisi meninggalkan kamar hotel.