“Jangan lupa ya, Pak. Saya permisi dulu. Selamat bersenang-senang!”
“Tentu. Besok kau tunggu di kantormu. Aku akan berkunjung ke sana.” balas Kak Haidar sambil menutup kembali pintu.
“Siapa itu tadi, Kak? Kok tidak sopan begitu?” tanyaku.
“Biasa. Petugas yang cari makan juga.”
“Masak cari makan di kamar hotel?”
“Ya, makan yang lebih enak kali.”
“Lebih enak itu yang gimana?”
“Pokoknya sekali makan itu, banyak lauk yang bisa dibawa pulang. Lauk dalam arti konotasi. Lauk yang tak bisa dimakan. Lauk yang biasanya berupa amplop. Tentu dengan ukuran ketebalan isinya.”
“Oh, begitu ternyata. Memang semua ujung-ujungnya di situ ya, Kak?”
“Zaman sekarang ini emang begitulah adanya. Semua butuh uang. Keamanan, jabatan, posisi, pangkat, dan banyak lagi lainnya.”
Aku terdiam.
“Kok, diam? Kamu tak butuh uang?”
“Butuhlah. Tapi itu kan bisa nanti”
Aku menurunkan selimutku. Aku sembari berpikir bahwa aku sedang membeli jabatan. Tapi bukan dengan uang.
Keesokan harinya, aku pun kembali ke kandang. Menemui pasangan dan anak-anak. Seolah tidak terjadi apa-apa. Begitu juga merpati jantan. (dwi/k8)