Belum tegasnya sikap Pertamina ataupun pemerintah sejauh ini membuat pengetap leluasa beraksi, menjual kembali BBM subsidi.
SAMARINDA–Upaya pemerintah mengatasi antrean di SPBU, hingga menghentikan berulangnya tragedi kebakaran yang dipicu aktivitas pom mini oleh pengetap kini dinanti. Kepala Dishub Samarinda Hotmarulitua Manalu mengungkapkan, pemkot bertekad mengurangi kemacetan dan mereduksi aktivitas pom mini. Upaya itu akan melibatkan peran Pertamina bersama pengelola SPBU. Seperti memberlakukan pengaturan waktu pelayanan. “Agar transportasi pengetap bisa dipersempit ruang geraknya,” katanya kepada Kaltim Post setelah menghadiri rapat koordinasi penyaluran BBM biosolar dan pertalite di HARRIS Hotel Samarinda, Senin (4/12).
Dia melanjutkan, dalam pertemuan itu, pihaknya menegaskan kembali catatan wali kota Samarinda mengenai beberapa SPBU yang ditemukan antrean panjang. “Berlaku paling lama 9 Desember mendatang. Termasuk pembatasan pembelian agar dipasang kembali,” ucapnya. Terkait sorotan banyak kebocoran distribusi dari SPBU di bawah pengelolaan Pertamina yang menjual BBM subsidi ke pengetap atau pedagang eceran, SBM 2 Pertamina Patra Niaga Imam Bukhari mengatakan, selama ini pengetatan sudah dilakukan.
Agar BBM jenis pertalite maupun solar, sampai ke masyarakat sebagai pengguna akhir atau tepat sasaran. “Banyak sekali yang sudah kami lakukan. Kami aktif koordinasi apabila ada ditemukan kendaraan dengan nopol yang sama mengisi berulang dalam satu hari melebihi kapasitasnya akan ditindak,” ucapnya. “Kami juga terima laporan dari masyarakat,” sambungnya.
Imam menyampaikan permintaan maaf karena secara langsung atau tidak langsung telah mengganggu lalu lintas, dimana selaku regulator, Pertamina maupun pengelola SPBU berkomitmen membantu mengurai lalu lintas. “Termasuk rekayasa waktu pembelian untuk R2 (roda dua) dan R4 (roda empat). Makanya kami juga minta pengertian ke masyarakat. Tujuannya agar tidak lagi mengantre seperti saat ini,” tuturnya.
Terhadap SPBU yang terdapat antrean panjang, Imam mengaku menjadikan evaluasi untuk dilakukan pengendalian antrean. Seperti penambahan sekuriti SPBU. Termasuk mendorong penambahan jam operasional SPBU. “Saat ini sudah ada dua SPBU beroperasi 24 jam, yakni di Jalan Kusuma Bangsa dan Jalan Slamet Riyadi. Dari rapat ini juga kami akan menerima usulan SPBU mana saja yang siap menambah jam operasionalnya minimal hingga pukul 24.00 Wita. Syukur-syukur bisa 24 jam juga,” ungkapnya.
Dia berharap, semakin banyak SPBU beroperasi 24 jam maka akan memudahkan warga mendapat BBM. Termasuk ke depannya dengan pengendalian waktu operasional baik untuk kendaraan roda dua dan roda empat sehingga mengurangi kemacetan. “Kami juga terus memperketat pengawasan di tiap SPBU. Bahkan September–November ada banyak SPBU yang telah dipasang spanduk pembinaan,” katanya.
Hal itu disebabkan SPBU diketahui kurang baik dalam performa penjualan, atau kedapatan menjual BBM ke pengetap. Bentuk pembinaan itu berupa tidak dikirim pertalite selama jangka waktu tertentu. “Biasanya 10–0 hari. Agar masyarakat tidak segan melaporkan jika menemukan hal tersebut,” terangnya.
Pada bagian lain, rencana penertiban pom mini yang digaungkan Pemkot Samarinda diperkirakan butuh waktu lama. Terlebih pemerintah belum memiliki peraturan daerah (perda) soal penertiban pom mini. Sehingga satu-satunya payung hukum yang bisa dijadikan landasan adalah izin usaha perdagangan yang notabene dikeluarkan pemerintah pusat. Sementara surat edaran yang dikeluarkan pemkot nantinya, tak dapat dijadikan dasar melakukan upaya paksa membongkar pom mini yang tengah menjamur di Kota Tepian saat ini.
Pengamat hukum Universitas Mulawarman (Unmul) Samarinda Orin Agusta Andini mengungkapkan, dasar legal memperjualbelikan BBM adalah izin usaha sesuai dengan Pasal 23 Jo 53 UU Migas. Pelaku usaha pom mini yang masuk ke dalam kategori kegiatan usaha hilir harus memiliki izin usaha. "Izin usaha yang dimaksud dalam hal ini adalah izin usaha kepada badan usaha yang berbadan hukum, untuk melaksanakan kegiatan usaha hilir sesuai dengan peraturan yang berlaku," urai perempuan yang akrab disapa Orin itu.
Sehingga, izin usaha tersebut harus diurus, biasanya ke Dinas Perdagangan agar kegiatan usaha menjadi legal. Apabila mendapatkan izin, maka praktis memenuhi syarat administratif, keamanan, dan keselamatan. "Karena syarat untuk menjadi legal itu adalah izin yang notabene diurus ke pemerintah kota. Maka Pertamina tidak punya kewenangan untuk melakukan penutupan pom mini tersebut," terang perempuan berhijab itu.
Kehadiran pom mini yang menjamur di Samarinda merupakan milik pribadi atau perorangan yang tidak berizin. Disebutkan Orin, UU Migas Pasal 21 menyebutkan pemerintah bertanggung jawab atas pengaturan dan pengawasan kegiatan usaha. "Kalau sekarang Pemkot Samarinda memilih untuk menerbitkan surat edaran, bisa saja. Atau kalau ada perda izin usaha tersebut bisa digunakan karena sudah pasti pom mini itu tidak berizin," katanya.
Penertiban usaha yang tidak berizin tersebut bisa dilakukan oleh Satpol PP dengan catatan ada perda yang mengatur. Namun bila hanya berlandaskan surat edaran, Orin menyebut, surat edaran bukan produk yang punya kekuatan hukum. Sifatnya hanya pengendali administrasi, imbauan, pedoman, tanpa sanksi. "Jadi harus jelas dulu isi edarannya apa? Karena kalau menjatuhkan sanksi atau menindak sesuatu ya ndak bisa, kecuali sudah ada perdanya," sambungnya.