Pada tahun 2021 International Diabetes Federation (IDF) memperkirakan sebanyak 537 juta orang dewasa (usia 20-79 tahun) yang mengalami diabetes melitus di dunia dengan angka prevalensi yang cukup tinggi sebesar 10,5% dan jumlah ini diperkirakan akan meningkat menjadi 783 juta penderita pada tahun 2045 dengan angka prevalensi sebesar 12,2%. Indonesia menempati peringkat ke-5 dengan 19,5 juta penderita pada tahun 2021 dan diperkirakan akan meningkat menjadi 28,6 juta penderita pada tahun 2045.
Salah satu komplikasi parah pada pasien diabetes adalah ulkus diabetikum, kondisi ini menyebabkan luka terbuka di kaki, serta menjadi penyebab utama morbiditas dan mortalitas global. Data menunjukkan bahwa 15-25% pasien diabetes mengalami ulkus diabetikum sepanjang hidupnya, hal ini memperlihatkan pentingnya pencegahan dan manajemen yang efektif, terutama dalam kontrol glikemik dan perawatan luka pada kaki.
Pembentukan biofilm pada ulkus diabetikum yang mencakup Staphylococcus aureus (sekitar 27,8% penyebab infeksi ulkus diabetikum) menyebabkan resistensi adaptif dengan membatasi akses antibiotik ke sel bakteri. Struktur biofilm yang tertutup dalam matriks EPS membuatnya sulit diatasi oleh antibiotik yang tersedia saat ini menambah kesulitan dalam penyembuhan ulkus diabetikum dan meningkatkan resistensi antibiotik.
Hingga saat ini pengembangan agen antibiofilm masih menjadi tantangan global dalam bidang kesehatan karena belum ditemukan agen antibiofilm yang efektif dan aman untuk mengatasi resistensi akibat biofilm. C-10 massoialactone merupakan senyawa yang ditemukan dari tanaman mesoyi (Cryptocarya massoy (Oken) Kosterm). Penelitian yang dilakukan oleh Hamzah et al (2022) menyatakan bahwa senyawa C-10 massoialactone memiliki nilai MBEC50 terhadap Monospecies P. aeruginosa pada konsentrasi 0.050 %v/v. Besarnya potensi senyawa C-10 massoialactone sebagai antibiofilm dan secara empiris bisa digunakan sebagai obat luka.
Bacterially sensitive nanoparticle telah muncul sebagai pendekatan yang menjanjikan untuk memerangi infeksi bakteri. Bacterially sensitive nanoparticle dirancang dengan tujuan untuk mengatasi infeksi bakteri melalui sistem penghantaran obat yang cerdas. Bacterially sensitive nanoparticle ini memiliki perilaku stimuli-responsive yang memungkinkan melepaskan beban antibakteri secara khusus di tempat yang terinfeksi. Akan tetapi penggunaan Bacterially sensitive nanoparticle yang diinkorporasikan dalam sediaan Thermoresponsive gel masih belum pernah dilakukan. Thermoresponsive gel mampu berubah konsistensi dari liquid menjadi gel karena adanya perubahan suhu ketika diaplikasikan pada tubuh. Dimana pada suhu kamar (25℃), polimer ini adalah sediaan cairan kental kemudian akan berubah menjadi gel ketika suhu meningkat (37℃).
Permasalahan ini mendasari kami dari Tim Program Kreativitas Mahasiswa – Riset Eksakta (PKM-RE) Universitas Muhammadiyah Kalimantan Timur Program Studi S1 Farmasi yang terdiri dari 5 orang Mahasiswa/i yakni Virgiawan Yoga Pratama (2021), Putri Dwi Rahayu (2021), Selmi Putri (2021), Putri Salsabila Aliyu (2021) dan Nadhifa Suci Amalia (2022) dibawah bimbingan Dr. Apt. Hasyrul Hamzah, M.Sc membuat inovasi baru.
Inovasi baru ini mengenai Bacterially Sensitive Nanoparticle Senyawa C-10 Massoialactone Terinkoporasi Dalam Thermoresponsive Gel Sebagai Alternatif Terapi Infeksi Biofilm Staphylococcus aureus Pada Ulkus Diabetikum. Inovasi ini berguna sebagai terapi ulkus diabetikum dalam pengembangan obat baru yang berasal dari hasil isolasi bahan alam melalui serangkaian pengujian.
“Riset ini dapat menjadi dasar acuan dalam pengembangan obat baru sebagai terapi ulkus diabetikum dengan menggunakan zat aktif yang berasal dari senyawa C-10 Massoialactone yang dibuat menjadi bacterially sensitive nanoparticle yang diinkoporasikan dalam thermoresponsive gel. Yang dimana penggunaannya malalui rute topikal sehingga memiliki waktu retensi yang lebih lama dan meningkatkan efektivitasnya”
“Harapan kami, hasil dari penelitian ini nantinya dapat digunakan oleh masyarakat untuk pemeliharaan kesehatan, pencegahan, dan pengobatan penyakit serta meningkatkan hasil pengobatan pasien ulkus diabetikum dalam mengurangi resistensi akibat antibiotik serta mendukung kemajuan teknologi farmasi dan kedokteran di Indonesia” (*)