Udara segar yang dulu jadi ciri khas Kalimantan Timur sekarang makin langka, ya. Di tengah gencarnya pembangunan dan janji transisi energi, anak muda Kalimantan Timur harus hadapi kenyataan, napas makin berat, langit makin kelabu, dan penyebabnya bukan cuman macet atau kebakaran hutan, tapi juga si “diam-diam mematikan”—PLTU batu bara.
Buat Gen Z, yang lahir dan tumbuh di era krisis iklim, keberadaan PLTU bukan cuman soal listrik nyala atau mati. Ini soal kualitas hidup, kesehatan, dan hak buat hidup di lingkungan yang layak. Dan yang bikin gregetnya lagi, masih banyak orang yang anggap polusi udara tuh cuman “angit lewat”.
PLTU: Ancaman yang Nggak Kelihatan Tapi Nempel
Polusi dari PLTU itu ngeselin, karena “dia” gak keliatan kayak kabut tebal, tapi efeknya nempel lama di paru-paru kita. Emisi kayak PM2.5, sulfur dioksida (SO₂), dan nitrogen oksida (NOₓ) bisa masuk ke dalam sistem pernapasan dan bikin penyakit kronis, bahkan kematian.
Menurut Greenpeace (2023), PLTU batu bara di Indonesia berkontribusi terhadap ribuan kasus kematian tiap tahun. Bahkan teknologi terbaru kayak Ultra Super Critical pun gak ngasih banyak dampak yang berarti. Antara News Bengkulu (2023) bilang, teknologi ini tetep aja menghasilkan emisi gas berbahaya, cuman dibungkus dengan cara yang mahal.
Coba bubuhan lihat PLTU Teluk Balikpapan, yang katanya “aman”. Padahal kenyataannya, data emsisnya dicek di area terbatas dan gak ngasih gambaran utuh soal dampak ke warga sekitar. Bayangin deh, tiap hari tinggal di deket sumber polusi, tapi gak tahu apa-apa soal kualitas udara yang dihirup. Kayak lagi main petak umpet, tapi mainnya sama penyakit.
Udara Katanya “Baik” Tapi Kok Paru-Paru Tetep Sesek?
Menurut IQAir (2025), AQI atau Indeksi Kualitas Udara di Samarinda ada di angka 49 alias “baik”. Tapi jangan lega dulu, gengs. WHO bilang, ambang batas aman PM2.5 itu maksimal 10 µg/m³ per tahun. Dan Samarinda udah 8,9 µg/m³ nyaris sentuh batas, dan tren tahunan terus naik.
Masalahnya, itu baru parameter. Belum ngitung SO₂, NOₓ, dan logam berta lainnya yang juga keluar dari cerobong asap PLTU. Udara bisa “baik” di kertas, tapi kenyataan di lapangannya? Banyak yang ngeluh napas berat, bahkan anak-anak mulai kena ISPA.
Yang lebih miris, daerah kaya Berau, Kutai Timur, dan Paser yang punya PLTU kebanyakan dari mereka belum punya alat pantau ISPU yang aktif. Jadi masyarakat gak tahu seberapa parah kualitas udara mereka. Hidup udah kayak main lotre, dan hadiahnya dapet asma.
Gen z Gak Cuman Nge-Post, Tapi Bergerak
Di tengah kesesakan udara dan diamnya data, Gen Z Kalimantan Timut mulai move. Mereka sadar, kalo nunggu orang dewasa duluan yang gerak, ya pasti bakal kelamaan. Akhirnya, dari layar HP sampe aksi nyata, suara mereka makin keras.
Komunitas kayak Kaltim Youth Climate Movement, Jeda Iklim Samarinda, dan beberapa organisasi kampus udah banyak yang gerak, di antaranya:
• Edukasi soal dampak PLTU lewat TikTok dan Reals, biar lebih nyampe kea nak muda.
• Bikin open mic lingkungan, tempat curhat dan diskusi soal polusi dan perubahan iklim.