Mood yang negatif sering kali mendorong kita mencari “comfort food”—makanan manis, gurih, atau berlemak tinggi—sebagai pelarian sementara.
Padahal, kebiasaan ini justru bisa memperburuk siklus, karena energi naik cepat tapi juga turun drastis, membuat emosi kembali tidak stabil.
Dengan kata lain, lapar tidak hanya persoalan fisik, tapi juga punya dampak psikologis yang signifikan.
2. Hubungan Biologis antara Lapar dan Mood
Kalau ditarik dari sisi sains, lapar sebenarnya bukan cuma soal perut kosong. Saat tubuh kekurangan makanan, kadar gula darah (glukosa) di dalam tubuh akan turun.
Nah, glukosa ini adalah bahan bakar utama otak.
Jadi begitu stoknya menipis, fungsi otak pun ikut terganggu, terutama bagian yang berperan dalam mengatur emosi dan pengambilan keputusan.
Penelitian menunjukkan bahwa rendahnya kadar glukosa bisa bertindak layaknya “stressor” bagi tubuh, baik secara fisiologis maupun psikologis.
Kondisi ini memicu pelepasan hormon kortisol (hormon stres) dan norepinefrin (neurotransmiter yang membuat tubuh waspada). Perpaduan keduanya membuat kita lebih mudah merasa tegang, cemas, lelah, marah, hingga bingung.
Selain itu, ada juga hormon bernama ghrelin—yang dilepaskan ketika perut kosong. Fungsinya memang memberi sinyal ke otak bahwa kita butuh makan, tapi efeknya tidak berhenti di situ.
Ghrelin ternyata juga memengaruhi area otak yang berhubungan dengan suasana hati, perilaku mencari reward, kontrol impuls, bahkan gejala kecemasan dan depresi.
Kalau digabung, turunnya gula darah dan naiknya hormon stres menciptakan kondisi “medan perang” di otak. Kita jadi lebih mudah tersulut, lebih sulit berpikir jernih, dan lebih rentan merespons sesuatu dengan emosi negatif. Itulah kenapa kondisi hangry sangat nyata karena memang ada perubahan biologis yang terjadi di dalam tubuh kita. (*)