JAKARTA – Angka kasus tindak pidana perdagangan orang (TPPO) masih tinggi. Dari tahun ke tahun, terus meningkat bahkan modusnya kian meluas.
Merujuk pada data Simfoni PPA, tahun ini saja, baru menginjak pertengahan April, jumlah kasus TPPO sudah mencapai 524 kasus. Angka ini pun diprediksi masih mungkin bertambah hingga akhir tahun.
Tak jauh beda, berdasarkan data Polri, dua tahun terakhir menunjukkan angka peningkatan laporan kasus TPPO meningkat drastis. Pada 2022, jumlah laporan tercatat sebanyak 133 kasus dengan jumlah korban sebanyak 357 perempuan dan 311 laki-laki. Sementara, di 2023, jumlah kasus melonjak hingga 1061 kasus dengan jumlah korban perempuan mencapai 1497 orang dan laki-laki sebanyak 1869 orang.
Kemudian, April 2024, jumlah kasus mencapai 70 kasus dengan korban perempuan 179 orang dan 128 laki-laki. Kenaikan ini disinyalir lantaran adanya pengalihan pemegang jabatan Ketua Harian Satuan Tugas TPPO dari Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak ke Kapolri. Sehingga, penanganan bisa lebih cepat.
”Secara umum, korban TPPO setiap tahunnya masih didominasi perempuan,” ungkap Deputi Peningkatan Kualitas Anak, Perempuan, dan Pemuda, Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) Woro Srihastuti Sulistyaningrum dalam Deputy Meet The Press, di Jakarta, Senin (22/4).
Kasus ini pun, lanjut dia, saat ini semakin meluas. Tidak hanya dari modus kasus, tapi juga sasarannya. Perempuan yang jadi target tak hanya mereka yang dewasa, tapi juga anak-anak. ”Target sasaran juga semakin meluas, tidak hanya kepada masyarakat kelompok berpendapatan rendah tetapi juga yang menengah ke atas,” jelasnya.
Untuk modus TPPO ini pun disebutnya bermacam-macam. Ada yang berkedok untuk dijadikan pekerja migran Indonesia (PMI) di luar negeri, dijadikan pegawai seks komersial (PSK), online scam, bahkan jual beli anak. Saat ini, banyak kasus yang tengah ditangani oleh pihak kepolisian baik di tahap lidik maupun sidik.
Lebih lanjut, Woro mengungkapkan, ada beberapa faktor penyebab terjadinya TPPO ini. Isu kemiskinan menjadi salah satu faktor utama. Masyarakat yang ingin mendapatkan kehidupan lebih baik dan keluar dari kondisi kemiskinan tersebut kerap terjebak dalam kasus TPPO ini.
Kemudian, masalah pengangguran, rendahnya pendidikan yang berimplikasi pada terbatasnya akses ke berbagai sumber daya, praktik diskriminasi gender seperti perkawinan anak hingga kawin kontrak, dan rendahnya pemahaman masyarakat mengenai TPPO tersebut.
”Kurang optimalnya peran dan fungsi keluarga juga jadi faktor penyebab, dalam arti bagaimana keluarga sebenarnya juga bisa mencegah ya kalau misalnya dirasa ada yang mencurigakan dari proses pemberangkatan anggota keluarganya,” paparnya.
Diakuinya, Indonesia memang masuk dalam kategori tier II dalam upaya pencegahan TPPO ini. Artinya, negara belum sepenuhnya memenuhi standar minimum dalam perlindungan korban perdagangan orang. Namun, kondisi ini pun terus diperbaiki melalui sejumlah langkah yang dilakukan saat ini. Mulai dari edukasi massif soal TPPO pada masyarakat hingga ke desa-desa, sekolah, aparat desa, dan lainnya.
Lalu, dibuat gugus tugas TPPO baik di tingkat pusat maupun daerah. Sehingga, diharapkan bukan hanya penanganan tapi juga pencegahan kasus TPPO dapat dilakukan secara massif.
Di sisi lain, pemerintah juga berupaya memperbaiki data korban TPPO ini. Kemenko PMK bersama Badan Pusat Statistik (BPS) kini tengah menggagas pembentukan Satu Data Migrasi Internasional sebagai salah satu upaya menekan terjadinya TPPO tersebut.