Mufti pun mengingatkan, penambangan di pulau-pulau kecil di Raja Ampat tak hanya merusak lingkungan tapi juga bertentangan dengan UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil jo UU No 27 tahun 2007 yang melarang aktivitas pertambangan di pulau yang luasnya kurang dari 2.000 km2.
Karena itu, Mufti menyoroti bagaimana bisa izin tambang terbit di Raja Ampat yang mayoritas merupakan wilayah konservasi. Apalagi sebagian tambang berdekatan dengan Pulau Piaynemo, yang dikenal sebagai destinasi wisata utama di Raja Ampat. “Bahkan bisa-bisanya Peraturan Daerah Kabupaten Raja Ampat Nomor 3 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah justru menetapkan beberapa pulau kecil sebagai kawasan pertambangan yang sangat bertentangan dengan UU,” ujarnya.
Sudah Eksploitasi
Direktur Eksekutif Nasional Walhi Zenzi Suhadi mengatakan, dari empat perusahaan yang dicabut izinnya, semua sudah melakukan eksploitasi. Sehingga sudah ada lahan hutan yang terbuka akibat penambangan. Misalnya, PT Anugerah Surya Pratama menggali di Pulau Manuran seluas 109 hektar. Lalu PT Kawei Sejahtera Mining juga menambang di Pulau Manuran dengan luasan 89 hektar.
Sedangkan PT Gag Nikel beroperasi di Pulau Gag dengan luas area tambang 187 hektar lebih. Zenzi mengatakan, ketika IUP dicabut, pemulihan hutan harus dilakukan. Hutan harus tertutup seperti sebelumnya. "Pemulihan harus dibebankan ke perusahaan," katanya.
Dia menegaskan sengkarut perizinan tambang nikel di Raja Ampat harus ditelisik lebih dalam. “Kenapa izin sampai bisa keluar, di area konservasi hutan pula,” katanya. (lyn/wan/ttg)