Pada masa kolonial, ketika pendidikan hanya milik kaum bangsawan, Sultan membuka sekolah umum dan agama dengan biaya pribadi. Ia memberi beasiswa kepada anak-anak miskin agar bisa belajar.
Gagasannya melampaui zamannya, menegaskan bahwa pendidikan adalah kunci kemerdekaan sejati. Bima pun tumbuh menjadi salah satu daerah dengan tingkat literasi tertinggi di Indonesia bagian timur pada masa itu.
Dalam pendidikan Islam, Sultan juga melakukan pembaruan. Ia memperluas akses pengajaran kitab agar bisa dipelajari oleh masyarakat umum, bukan hanya kalangan istana. Baginya, ilmu dan iman harus berjalan beriringan. Ia ingin rakyat Bima tidak hanya taat beragama, tetapi juga cerdas dan mandiri.
Selain itu, Sultan dikenal sebagai pemimpin yang terbuka terhadap perubahan. Ia mendukung organisasi pergerakan, membangun hubungan dengan tokoh nasional, dan memelihara dialog lintas kalangan.
Setelah proklamasi, ketika Belanda melalui NICA mencoba kembali menancapkan kekuasaan, Sultan dengan tegas menolak kehadiran mereka di Bima.
Keberaniannya itu mendapat perhatian nasional. Presiden Soekarno bahkan datang langsung ke Bima untuk menyampaikan rasa terima kasih atas keteguhan sang Sultan dalam membela republik.
Dari pertemuan itu, tergambar sosok pemimpin daerah yang tak hanya setia, tetapi juga memahami makna strategis kemerdekaan bahwa Indonesia harus berdiri di atas kedaulatan penuh rakyatnya.
Penganugerahan gelar Pahlawan Nasional kepada Sultan Muhammad Salahuddin bukan hanya penghormatan terhadap masa lalu, tetapi juga refleksi bagi masa kini dan masa depan.
Di tengah krisis keteladanan dan menguatnya pragmatisme politik, teladan Sultan mengingatkan bahwa kekuasaan tanpa moral adalah kehampaan, dan ilmu tanpa pengabdian adalah kesia-siaan.
Bagi masyarakat NTB, pengakuan ini menjadi kebanggaan kolektif. Kesultanan Bima tidak lagi sekadar dikenang sebagai institusi kerajaan, melainkan simbol nilai kebangsaan dan semangat pembaruan.
Warisan Sultan perlu dijaga melalui pelestarian Museum Asi Mbojo, kompleks Samparaja, serta integrasi nilai-nilai perjuangannya dalam kurikulum pendidikan lokal agar generasi muda tidak tercerabut dari akarnya.
Lebih dari itu, pemerintah daerah dapat menjadikan semangat Sultan sebagai inspirasi kebijakan publik. Prinsip pemerataan pendidikan, keadilan sosial, dan keberpihakan kepada rakyat kecil adalah nilai yang tetap relevan hingga kini.
Pengakuan dari negara harus diterjemahkan menjadi aksi nyata dengan membangun sumber daya manusia yang cerdas, berakhlak, dan cinta tanah air.
Sultan Muhammad Salahuddin telah menegaskan, kemajuan bangsa tidak hanya ditentukan oleh pembangunan fisik, tetapi oleh karakter pemimpinnya. Ia mewariskan pandangan hidup bahwa kekuasaan adalah amanah, dan ilmu adalah cahaya kemerdekaan.
Ketika namanya disebut di Istana Negara pada 10 November 2025, masyarakat Bima tak hanya menyaksikan pengakuan negara, tetapi juga menegaskan kembali pesan sang Sultan bahwa kemuliaan sejati bukan milik mereka yang berkuasa, melainkan milik mereka yang mengabdi.