JAKARTA – Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) dipastikan akan segera disahkan menjadi undang-undang. Hal ini menyusul tercapainya kesepakatan antara DPR dan Pemerintah dalam pembicaraan tingkat I pada Kamis (13/11). Rencananya, RUU KUHAP akan dibawa ke rapat paripurna untuk ditetapkan dalam pembicaraan tingkat II pada Selasa (18/11).
“Kan sudah tingkat satu. Udah jadi,” kata Wakil Ketua DPR Cucun Ahmad Syamsurizal di Kompleks Parlemen, Senin (17/11).
Namun, langkah cepat DPR ini menuai kritik tajam dan keras dari Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP. Koalisi menilai proses pembahasan hingga substansi sejumlah pasal dalam RUU KUHAP bermasalah dan berpotensi serius melemahkan perlindungan hak warga negara, serta membuka ruang penyalahgunaan oleh aparat.
Kecaman Keras Praktik Manipulasi Partisipasi Publik
Wakil Ketua YLBHI, Arief Maulana, menegaskan bahwa pihaknya menemukan indikasi adanya praktik manipulasi partisipasi publik dalam proses legislasi tersebut.
“Kami mengingatkan kepada DPR RI dan juga pemerintah untuk berhenti melakukan praktik manipulasi partisipasi warga negara, bahkan juga pencatutan-pencatutan nama masyarakat sipil, juga kebohongan yang dilakukan oleh DPR RI mengatasnamakan masukan warga, padahal tidak demikian adanya,” ujar Arief di kantor ICW, Minggu (16/11).
Arief memperingatkan pemerintah dan DPR untuk memastikan proses penyusunan RUU KUHAP benar-benar bertujuan melindungi hak rakyat, bukan untuk melindungi kepentingan penguasa atau institusi penegak hukum tertentu.
Koalisi menyoroti persoalan formil yang sangat serius, yaitu minimnya akses publik terhadap informasi dan tidak adanya ruang masukan yang memadai.
Sembilan Catatan Kritis RUU KUHAP: Pelemahan KPK
Secara substansi, Koalisi Masyarakat Sipil memberikan sembilan catatan kritis, khususnya pada aspek tindak pidana korupsi, yang secara umum dinilai berpotensi melemahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK):
Pertentangan Norma Peralihan: Pasal 329 dan 330 RKUHAP mengedepankan asas lex posterior, yang dianggap bertentangan dengan prinsip kekhususan (lex specialis) dalam UU KPK dan UU Tipikor, berpotensi menyingkirkan hukum acara khusus antikorupsi.
Pelemahan Mekanisme Penyadapan: RKUHAP mengatur penyadapan hanya di tingkat penyidikan dan menyerahkannya ke UU khusus, mengabaikan wewenang KPK untuk menyadap sejak penyelidikan, yang dapat menghambat operasi tangkap tangan (OTT).
Potensi Penundaan Perkara: Pasal 154 menyebut sidang pokok perkara tidak bisa dimulai sebelum praperadilan selesai. Ini dinilai dapat dijadikan taktik oleh tersangka korupsi untuk menunda penanganan perkara.