Prokal.co, SANGATTA - Partisipasi perempuan dalam dunia politik menjadi salah satu bagian dalam indikator kesetaraan gender. Pemerintah Indonesia telah mengupayakan
beragam aturan untuk mendorong perempuan aktif dalam segala bidang termasuk bidang politik.
Namun, upaya tersebut masih belum sepenuhnya berhasil. Bahkan jauh dari angka minimum utamanya yang berhasil lolos menduduki parlemen. Dalam Parlemen Kabupaten Kutai Timur (Kutim) keterwakilan perempuan jika dibulatkan hanya sebesar 16 persen atau 6 dari 37 kursi parlemen yang ada.
Yan ketua Komisi D DPRD Kutim yang menaungi masalah pemberdayaan perempuan saat ditemui pada Rabu (12/6).
Ia mengatakan faktor utama minimnya keterwakilan perempuan tersebut berada ditangan masyarakat sebagai pihak yang memilih dan menentukan siapa
perwakilannya.
"Kita serahkan ini ke masyarakat, karena kalau dari sisi kepartaian kita sudah mengakomodir 30 persen perempuan. Tetapi masalahnya masyarakat tidak mau memilih dan perempuan juga tidak mau pilih perempuan," ungkap Yan.
Ia juga mengatakan bahwa jarang sekali mendapat perempuan yang daftar sendiri hal tersebut karena perempuan lebih bisa berpikir rasional untuk mengambil resiko ketimbang laki-laki. Lebih lanjut, Yan mengungkapkan pada Pemilihan Umum Legislatif
(Pileg) 2024 lalu, pihaknya bahkan kesulitan menemukan perempuan yang berminat untuk maju menjadi
wakil rakyat.
"Sakit-sakit kami cari calon perempuan sehingga kita membuka peluang supaya semua orang datang daftar, dan jarang sekali kita mendapat perempuan datang
mendaftar sendiri," ungkap Yan.
Yan juga menjelaskan bahwa rata-rata perempuan tidak mau maju pileg kalau kemungkinan menangnya di bawah 60 persen.
"berdasarkan hasil wawancara kami pada saat penjaringan di Pileg itu rata-rata perempuan mengaku tidak mau maju kalau kemungkinan menangnya itu di bawah 60 presen," jelasnya.
Yan juga menyinggung, bahwa selama ini banyak pihak mengira dengan banyaknya perwakilan
perempuan di DPRD secara langsung dapat menyelesaikan semua masalah yang dialami oleh masyarakat, utamanya perempuan dan anak. Namun hal itu rupanya masih sulit untuk direalisasikan.
"Jangan kita mengira bahwa ketika DPR nya banyak perempuan, lantas pelanggaran di masyarakat utamanya perempuan dan anak itu akan berkurang, itu saya kira tidak ada jaminan," bebernya.