Pilkada Serentak telah berlalu dan sebagian besar pasangan calon terpilih telah dilantik oleh Presiden RI Prabowo Subianto. Namun, penggunaan anggaran untuk penyelenggaraan pesta demokrasi tersebut tetap perlu dipertanggungjawabkan.
KPU Kota Samarinda menggelar Focus Group Discussion (FGD) untuk menyusun laporan evaluasi Pemilihan Wali Kota dan Wakil Wali Kota Samarinda 2024 di Hotel Harris, Senin (24 Februari). Seperti diketahui, Pilkada Samarinda tahun lalu menghabiskan APBD Kota Samarinda sebesar Rp 87 miliar. Dari jumlah tersebut, Rp 54 miliar dialokasikan untuk KPU Kota Samarinda, Rp 17 miliar untuk Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Kota Samarinda, Rp 12 miliar untuk Polri, dan Rp 4 miliar untuk TNI.
Baca Juga: Mahasiswa Ragukan Realisasi Gratispol, Juga Tolak Program MBG
Pelaksana tugas (Plt) Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Samarinda, Sucipto Wasis, menegaskan bahwa setiap penggunaan dana yang bersumber dari APBD harus dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu, evaluasi perlu dilakukan untuk mengukur efektivitas penggunaan anggaran.
"Evaluasi ini penting agar jika ada hal yang kurang baik, bisa diperbaiki ke depannya," ujarnya. Ia juga menyoroti tingkat partisipasi pemilih yang meskipun meningkat dari 51 persen menjadi 59 persen, tetap dianggap belum signifikan. Menurutnya, ada beberapa faktor yang memengaruhi, seperti pengurangan jumlah TPS yang membuat jarak ke lokasi pemungutan suara semakin jauh.
Selain itu, praktik politik uang masih menjadi masalah. Wasis mengungkapkan bahwa masih ada masyarakat yang enggan datang ke TPS jika tidak ada kandidat yang memberi imbalan.
Faktor lain adalah perpindahan warga di bantaran Sungai Karang Mumus (SKM), yang melibatkan empat RT. Ditambah lagi, keberadaan calon tunggal dalam Pilkada Samarinda 2024 turut menurunkan minat masyarakat untuk berpartisipasi.
"Semoga ke depan partisipasi pemilih bisa terus meningkat," harapnya. Sementara itu, Ketua KPU Kota Samarinda, Firman Hidayat, mengatakan bahwa sistem pencalonan dalam Pilkada Serentak sebenarnya sudah membuka peluang bagi gabungan partai politik nonparlemen untuk mengusung calon.
Ia menjelaskan bahwa dalam keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 60 dan 70, KPU RI telah menetapkan PKPU terbaru Nomor 10/2024, yang mengubah ambang batas suara untuk pencalonan gubernur, bupati, dan wali kota.
Di Samarinda, ambang batas suara yang ditetapkan adalah 7,5 persen dari Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang memperoleh suara sah dalam Pemilu Legislatif 2024. Dengan jumlah tersebut, minimal raihan suara sebuah partai atau gabungan partai untuk mengusung pasangan calon adalah 33.457 suara.
Firman menambahkan bahwa putusan MK tersebut baru keluar pada 20 November, hanya seminggu sebelum penutupan pendaftaran calon. Waktu yang terbatas membuat partai nonparlemen kesulitan menyesuaikan diri, sehingga Pilkada Samarinda akhirnya hanya diikuti oleh satu pasangan calon.
"Andai saja ada tambahan waktu tiga bulan, kemungkinan besar Samarinda tidak akan hanya memiliki calon tunggal," pungkasnya. (hun/beb)