Menurutnya, budaya nikah mubarakah yang terus dilestarikan Ponpes Hidayatullah hingga saat ini dapat menjadi jawaban problematika remaja zaman sekarang yang semakin memprihatinkan. Tapi, prosesnya harus berangkat dari keyakinan kepada Allah. Yakin kalau jodoh datangnya dari Allah.
“Satu hal yang buat saya terharu selama mengikuti proses nikah mubarakah ini, yakni, pas ada salah satu peserta yang mengatakan, menginginkan cinta setelah perkawinan dan menghindari cinta sebelum kawin. Kalimat ini sangat menyentuh,” katanya.
Proses dalam “menjodohkan” para santri fasenya panjang. Peran para ustaz mereka cukup besar. Tak sembarangan comot. Intinya, tiap pasangan memang belum pernah sekalipun bertemu. Yang menentukan si A layak dengan si B adalah ustaz senior.
Ini tentu setelah melalui fase yang panjang. Ada pemantauan komprehensif latar belakang peserta. Tiap pasangan baru bertatap muka setelah ijab kabul.
Ketika proses ijab kabul pun tak dihadiri mempelai perempuan. Hanya mempelai pria dengan penghulu, wali, dan saksi yang kebanyakan santri Ponpes Hidayatullah.
Satu pelajaran penting yang disampaikan Abdul Qadir, manusia tak jarang selalu melihat dari sisi luarnya saja. Fisik. Makanya, panitia kerap mengingatkan kepada peserta nikah massal, belum tentu apa yang diinginkan calon pengantin itu baik buat dirinya.
Gambarannya, kalau pilihan dari para ustaz, tentu berdasar pada pertimbangan keagamaan, tak membawa-bawa nafsu, dan objektif.
Kalau santri yang memilih sendiri, besar kemungkinan akan dipengaruhi nafsu.
Diakuinya, ada saja calon peserta yang memasang kriteria tinggi dalam mendapatkan pasangan. Misalnya, saat mendaftar menulis syarat, ingin mendapatkan istri yang cantik, putih, dan tinggi. Menghadapi yang begini, jelas dia, panitia selalu memberi jawaban yang rasional.
“Kalau ada yang minta kriteria tinggi, ya, saya beritahu juga kepada peserta dengan sindiran. Kita ini (Anda) enggak terlalu gagah juga. Dibilang begitu, sadar juga mereka,” tuturnya, tertawa.
“Yang pasti, proses mencarikan pasangan oleh panitia ini tidak susah, karena mereka semua adalah kader Hidayatullah. Kalau kadar kekaderannya kuat, ya mudah sekali melalui tahapan ini,” lanjutnya.
Ada juga santri yang menentukan kriteria berdasarkan ilmu agama. Misalnya, ada santri putri penghapal Alquran, dia menentukan kriteria ingin mendapatkan pasangan yang hapal Alquran.
Hal ini wajar karena jika sudah sah kelak bisa sama-sama menjaga hapalan Alquran yang sudah dimiliki.
Ada juga santri yang menentukan kriteria berdasarkan suku, ini akan sangat diperhatikan oleh ustaz. Misal, santri putra tidak ingin calon istrinya dari suku A, tentu nantinya ustaz akan mencarikan pasangan yang bukan dari suku A.
Tasrif Amin, ketua Bidang Pelayanan Umat Ponpes Hidayatullah mengatakan, tingkat kegagalan pasangan yang menikah massal ini tidak ada.