Wilayahnya meliputi sebagian Desa Karang Jinawi, sebagian Kelurahan Sepaku, sebagian Desa Sukaraja, sebagian Desa Tengin Baru di Kecamatan Sepaku dengan luas 3.669 hektare. Selain itu, sebagian Desa Sungai Payang di Kecamatan Loa Kulu dengan luas 50,36 hektare. Thomas juga menegaskan sudah menolak izin pembangunan batching plant sejak tahun lalu. “Saya tolak itu semua izin. Bahkan saya diprotes oleh menteri PUPR. Kenapa mereka tidak diberikan izin. Saya jawab itu tidak sesuai dengan tata ruang (IKN). Saya harus konsisten. Kenapa saya memberikan izin ke batching plant, sementara masyarakat tidak saya kasih izin. Saya menjaga keadilan sosial. Saya tidak ingin ada perlakuan berbeda. Itu saya lakukan dari tahun lalu. Sehingga saya tidak keluarkan satu izin pun,” klaim dia.
Mulai bulan ini, ucap Thomas, dirinya menegaskan kepada pemilik batching plant untuk segera merelokasi pabriknya. “Kami sudah panggil pemilik batching plant ke Kantor Camat (Sepaku) untuk segera bersiap. Siapa yang duluan, silakan. Lahan sudah kami siapkan. Dan saya hanya memberikan ultimatum sampai akhir tahun. Tidak ada lagi batching plant di sepanjang jalan negara,” jelas dia. Akan tetapi, untuk membangun di lokasi baru, Thomas mengakui butuh waktu. Tidak bisa ujug-ujug pindah. Proses produksi dari batching plant tidak boleh juga mengganggu pembangunan yang ada di IKN saat ini.
“Kalau itu terjadi saya juga diteriaki. Memindahkan orang sementara mengganggu logistik pembangunan IKN. Saya juga enggak mau. Jadi menjaga kesinambungan produksi mereka tetap berjalan dan pekerjaan pembangunan IKN tidak terganggu,” jelasnya. Diwartakan sebelumnya, Otorita IKN mendapat kritik Koalisi Masyarakat Sipil (KMS) Kaltim pasca surat yang diterbitkan deputi Bidang Pengendalian Pembangunan Otorita IKN bernomor 179/DPP/OIKN/III/2024. Surat yang beredar pada 4 Maret 2024 itu, meminta warga Kelurahan Pemaluan membongkar bangunan dalam waktu tujuh hari sejak surat diterima.
Otorita IKN berdalih, permukiman warga tidak sesuai dengan tata ruang yang diatur pada Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Wilayah Perencanaan (WP) IKN. Dalam keterangannya Rabu (13/3), Dinamisator Jatam Kaltim Mareta Sari menerangkan, dasar pembongkaran paksa bangunan masyarakat lokal dan masyarakat adat adalah Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 64 Tahun 2022 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional Ibu Kota Nusantara.
Menurutnya, produk hukum ini dibuat tanpa melibatkan masyarakat sebagai pemilik sah wilayah. Hal ini merupakan pelanggaran terhadap Pasal 65 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang mengamanahkan untuk melibatkan masyarakat dalam penataan ruang. Yang meliputi perencanaan ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang.
Tanpa pelibatan masyarakat lokal dan masyarakat adat, lanjut dia, menyebabkan tata ruang tidak menjadi alat menyejahterakan masyarakat. Namun justru menjadi ancaman hilangnya hak-hak masyarakat. “Itu membuat keresahan yang luar biasa. Sehingga dugaan kami, membuat Otorita IKN meminta kepada para undangan mengembalikan surat dan lampirannya karena kegelisahan yang terjadi di masyarakat,” ujar dia.
Mareta melanjutkan, pemerintah lupa jika negara pada hakikatnya wajib bertindak atas nama kepentingan rakyat, bukan kepentingan para pemodal, apalagi sekadar obsesi pemindahan IKN. “Ada satu warga sudah tinggal sejak tahun 1993. Dan kalau dianggap bangunannya ilegal, rumahnya jauh lebih tua dari bangunan di atas 2019 yang berhubungan dengan pembangunan IKN sejak ditetapkan. Itu satu warga yang kami temui. Mungkin kalau bangunan baru bisa jadi, tapi bangunan mereka jauh lebih lama,” katanya. (kip/riz/k16)