Pada tanggal 19 Agustus 1934, Jerman mengadakan plebisit atau referendum nasional. Hasilnya, sekitar 90% suara mendukung penggabungan jabatan Kanselir dan Presiden menjadi satu, yaitu Führer und Reichskanzler (Pemimpin dan Kanselir Reich). Dengan suara mayoritas yang telak ini, Adolf Hitler secara resmi mengonsolidasikan kekuasaannya, mengakhiri sisa-sisa demokrasi di Jerman.
Untuk memahami peristiwa ini, perlu dilihat kronologi yang mendahuluinya:
Januari 1933: Hitler diangkat menjadi Kanselir Jerman oleh Presiden Paul von Hindenburg. Awalnya, ia merupakan kepala pemerintahan dalam sistem parlementer yang masih berfungsi.
Februari 1933: Gedung Reichstag (parlemen) terbakar. Nazi menyalahkan kelompok komunis dan menggunakan insiden ini sebagai alasan untuk mengesahkan Undang-Undang Perlindungan Rakyat dan Negara (Reichstag Fire Decree). Aturan ini menangguhkan hak-hak sipil, seperti kebebasan berbicara dan berkumpul, yang secara efektif melumpuhkan oposisi.
Maret 1933: Undang-Undang Pemberian Kuasa (Enabling Act) disahkan. Undang-undang ini memberikan kekuasaan legislatif penuh kepada kabinet Hitler, termasuk hak untuk mengesahkan undang-undang tanpa persetujuan parlemen atau presiden. Ini adalah pukulan telak bagi demokrasi Jerman.
Agustus 1934: Presiden Paul von Hindenburg meninggal dunia. Alih-alih menyelenggarakan pemilihan presiden baru, Hitler langsung mengumumkan dekrit yang menggabungkan jabatan kanselir dan presiden. Untuk memberikan legitimasi atas tindakannya, ia mengadakan plebisit pada 19 Agustus.
Ekses dan Dampak Selanjutnya
Kemenangan dalam plebisit 1934 adalah momen penting yang menandai transisi penuh dari Republik Weimar yang demokratis menjadi Jerman Nazi yang totaliter. Eksis dan dampak dari pengonsolidasian kekuasaan ini sangat luas, dan menjadi fondasi bagi kejahatan di bawah rezimnya:
Hilangnya Oposisi: Dengan kekuasaan penuh, Hitler segera membubarkan semua partai politik, kecuali Partai Nazi. Serikat pekerja dihapus, dan media dikuasai oleh negara. Siapa pun yang menentang rezim akan ditangkap, dipenjara, atau dibunuh.
Teror Negara: Kekuasaan totaliter memungkinkan Hitler memperkuat aparatur negara, seperti Gestapo (Polisi Rahasia Negara) dan SS (Schutzstaffel), yang digunakan untuk menindas dan meneror warga sipil.
Kebijakan Rasis dan Anti-Yahudi: Dengan kekuasaan mutlak, Hitler mengimplementasikan kebijakan-kebijakan anti-Yahudi yang lebih ekstrem. Ini dimulai dengan Undang-Undang Nuremberg tahun 1935 yang mencabut kewarganegaraan Yahudi, dan puncaknya adalah Holokaus, pembantaian sistematis terhadap enam juta Yahudi.
Militarisme dan Perang Dunia II: Setelah menyingkirkan semua batasan politik, Hitler memulai program persenjataan kembali Jerman secara besar-besaran, yang melanggar Perjanjian Versailles. Ini mengarah pada kebijakan ekspansi agresif yang pada akhirnya memicu Perang Dunia II pada tahun 1939.
Pada akhirnya, plebisit 1934 bukan sekadar pemilihan, tetapi sebuah ritual politik yang digunakan untuk meresmikan kekuasaan absolut seorang diktator. Hasilnya memberikan legitimasi semu bagi Hitler untuk menjalankan agenda radikalnya yang membawa malapetaka bagi Jerman dan dunia.(*)