Tiada Jembatan yang Tak Luka adalah buku kumpulan puisi yang sedikit berbeda dengan buku-buku puisi pada umumnya.
Buku puisi yang lain mungkin memberikan puisi dengan genre tertentu senada dengan gaya bahasa yang jelas dan terkadang tulisannya sedikit panjang untuk menggambarkan makna dari puisi itu sendiri, tetapi tidak dengan buku puisi ini.
Buku puisi satu ini memiliki gaya bahasa yang unik dalam menyampaikan puisinya.
Singkat, tapi mendalam. Penulis menggambarkan tiap-tiap puisinya memiliki genre tersendiri. Ada yang bergenre dunia politik, pemikiran filsafat, bahkan ada ilmu sosial yang menggambarkan kehidupan kita sehari-hari.
Contohnya salah satu puisi yang menggambarkan kehidupan sosial kita yang berjudul “Bagi Mereka Aku Sampah” memberikan pesan saat kita dianggap sampah oleh orang lain, apakah kita menerima menjadi sampah sambil menyembunyikan wajah sembari menangisi diri atau tetap bermimpi dan melawan, bahwasanya dirimu bukanlah sampah.
Buku ini pun mengandung pemikiran filsafat. Contohnya salah satu puisi dalam buku tersebut yang berjudul Arah yang Menuju, setiap baitnya membuat saya teringat pemikiran seorang filsuf dari Denmark, yakni Soren Kierkegaard (1813-1855). Pada bait “Namun, arah mana yang sungguh kau tuju?” Ini mirip dengan pertanyaan khas Kierkegaardian yaitu “Apakah engkau benar-benar memilih arahmu sendiri, atau hanya mengikuti arus mayoritas?”
Baca Juga: Perjanjian Keamanan Baru Indonesia–Australia Perkuat Konsultasi Militer dan Strategi Bersama
Dalam buku The sicknees Unto Death, kierkegaard, menjelaskan kita manusia sering kehilangan diri karena takut menghadapi keterpanggilan pribadinya di hadapan Tuhan.
Dalam bait ini seperti mengatakan selama ini ia berdoa, tapi tak tahu tujuan imannya itu sendiri.
Tak hanya ruang lingkup filsafat saja, tetapi puisi tentang dunia politik pun ada, disampaikan dengan halus tapi sangat tepat sasaran, untuk sekelas puisi.
Salah satu puisi yang kuat akan dunia politiknya berjudul Antagonistik Cinta yang mana pada bait “Di sanalah engkau.. Di menara gadingmu.. Di belakang mejamu.. Di atas podiummu” menggambarkan sebuah kritik terhadap para pemimpin, pejabat, ataupun kaum elite yang jauh dengan rakyatnya.
Tidak habis sampai situ saja, pada bait selanjutnya terasa lebih “pedas” dibandingkan bait sebelumnya, seperti “…Pedagogi palsu dalam sejumput retorika..” bermakna sebuah pidato atau pendidikan politik yang terlihat indah di kata, tapi hampa dalam aksi.
Juga pada bait “Pidato heroik berdalih perjuangan.. Kau tak pernah lapar pun mabuk melawan hidup...” menggambarkan sindiran terhadap pencitraan juga retorika nasionalisme palsu. Serta menggugat pemimpin yang tak pernah merasakan akan derita masyarakatnya.