“Kak ada kabar duka dari Tante Sulis,” nada suara Delia sedih dengan mata berkaca-kaca.
“Kabar apa Del?” Elena kebingungan.
“Kak Vino meninggal, Kak,” air matanya jatuh setelah mengucap nama sepupunya itu.
“Inalillahi wa inalillahi rojiun…”
“Bun gimana aku sama Delia ziarah ke makam Kak Vino sekarang mumpung Sabtu. Kita udah lama gak ketemu Kak Vino, sekalian pertemuan terakhir Bun,” saran dari Elena.
“Sekarang? Desa Cadet itu jauh Nak, bunda khawatir. Ayah juga masih kerja di luar kota.” Orangtua mana yang tidak khawatir jika dua gadisnya pergi jauh ke desa tanpa diawasi.
“Tenang Bun, kami ada ilmu bela diri. Lagian hanya empat jam bun,” ucap Elena meyakinkan.
“Sarapan dan mandi dulu ya, badan bunda kurang fit, titip salam buat mereka ya.” Bunda tak bisa menyembunyikan wajah cemas, namun mengizinkan karena percaya pada anak-anaknya.
Setelah selesai makan bersama, mereka mandi dan mempersiapkan perlengkapan.
“Elena dan Delia pergi sekarang ya, Bun,” kata Elena sembari menggendong ransel miliknya.
“Periksa lagi barangnya takut ada yang ketinggalan,” perintah Bunda. Mereka bersaudara berdua Elena seorang mahasiswi, sedangkan Delia kelas dua SMA.
“Sudah Bundaku sayang, kami pergi dulu ya, assalamualaikum.”
“Waalaikumussalam, hati-hati ya, kabari bunda terus.”
Setelah empat jam di perjalanan, akhirnya mereka sampai ke tempat tujuan.
“Akhirnya ya Kak nyampe juga, eh bentar Kak aku kasih tahu Bunda dulu biar ga khawatir,” kata Delia sambil mengeluarkan ponsel dari jaketnya.