kalimantan-timur

Memadamkan Api di Kepalamu

Minggu, 7 Agustus 2022 | 13:21 WIB

Oleh: Esty Pratiwi Lubarman

Di beberapa jalan yang kulalui, ada debar yang selalu tertinggal di sana. Gigil hujan membuat kesepian seolah tumbuh di dadaku. Aku tidak terlalu mengenal tubuh yang aku tinggali, selain nestapa dan kesunyian yang mengisi diriku sendiri. Jendela kamar berembun dan semua hal baik tertinggal di sana.

“Buka bajumu, Mar.”

Aku memaku. Dadaku gemetar dan waktu seolah meninggalkan angkanya. Ia membuka kancing bajunya dengan gerakan cepat. Napasnya memburu, keringatnya mulai turun satu demi satu dari pelipisnya. Ia menyentuh bibirku dengan tangannya yang gemetar.

Aku melihat jelas matanya, aku melihat beberapa hal di sana. Tapi gagal mengulangnya menjadi bahasa. Kulitnya bersih, bibirnya masih meninggalkan bau asap rokok. Dia ada di dalam diriku.

Bukankah hidup mengajarkan untuk tetap bertekuk lutut. Menyerahkan diri dengan doa yang panjang. Tapi ke mana perginya doa itu? Jika ditanya soal cinta, ya aku mencintainya! Tapi penuh dengan ego, nafsu, dan kebencian. Dia laki-laki dengan seribu bahasa yang bahkan aku sulit untuk mengerti.

Kepalanya kebakaran dan gemuruh hujan tidak mampu menenangkannya. Tatapan penuh cinta dan kesetiaan, itu bohong! Setiap hari aku harus memberikan tubuhku karena aku perempuan. Diberikan puisi-puisi cinta karena anggapan aku adalah gagasan romantisme.

“Apakah kamu menyukainya?”

Aku memalingkan wajahku, tubuhnya terus bergerak di atasku. Memasukkan beratus warna, entah apa. Tubuhnya bernama; kekuasaan! Aku tidak membenci menjadi perempuan, bukankah kita yang menghidangkan kehidupan? Karena lelaki meninggalkan benihnya dan pergi dengan pakaian berseragam. Aku menyesali kebodohanku dan harapan-harapan kosong yang terbenam di benakku sendiri. Hidup memperlakukanku tidak adil.

Adegan itu usai. Ia merapikan pakaiannya, duduk di samping kasur. Merapikan rambutnya. Matanya seolah lega. Ia mengambil sebatang rokok dan asapnya menelan isi kepalanya sendiri. Bukankah dia yang sudah kupilih atau justru sedari awal aku memang tidak memiliki pilihan.

“Kapan kamu akan melamarku?” ujarku hati-hati. Ia duduk memunggungiku. Aku membenci sebuah pernikahan, ia hanya mengikat hawa nafsu dan kasurku akan dilihat negara.

“Aku belum siap menikah, Mar. Lagi pula nanti kamu akan kukasih makan apa, gajiku belum cukup untuk menafkahimu.” Klise! Itu adalah kata yang muncul di kepalaku.

“Sampai kapan kamu merasa tidak siap. Aku merasa seolah menjual tubuhku kepada pasanganku sendiri.” Dia membalikkan badannya. Urat-urat di kepalanya terlihat kencang. Matanya penuh api.

“Bisa-bisanya kamu berpikir seperti itu, Mar. Lima tahun, Mar. Bukankah kita sudah saling melengkapi. Lagi pula, kamu menyukainya. Kau ingat pertama kali kita berciuman, kau sangat menikmatinya bukan?”

Halaman:

Tags

Terkini

Siapkan Formasi Fresh Graduate Pindah ke IKN

Rabu, 24 Januari 2024 | 23:00 WIB

Truk Ambles di Drainase Proyek DAS

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:31 WIB

Pengedar Sabu Diciduk Polisi saat Terlelap di Kamar

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:30 WIB

Anies Prioritaskan Ketersediaan Lapangan Kerja

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:27 WIB

Jepang vs Indonesia, Maju Tak Gentar...!!

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:23 WIB

ASTAGA..!! Ada 26 Motor Hilang di Depan BIGmall

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:16 WIB

Menantu Luhut Jadi Komisaris Utama Pindad

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:11 WIB

Babinsa Sungai Dama Antar Warga ke Rumah Sakit

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:09 WIB

18 Kecamatan di Kukar Kekurangan Pengawas TPS

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:08 WIB

Algaka Pelanggar di Kukar Mulai Ditertibkan

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB

Karena Pemilu, Kasus Korupsi KPU Mahulu Terhambat

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB