Angin membelai tengkukku. Bunyi jam seolah detak jantungku sendiri. Kesepian adalah kita yang tidak memiliki pilihan atas hidup. Kamar ini seolah mendengar semua desahan, tawa, dan keegoisan di antara kami. Aku sibuk dengan kata-kata di pikiranku sendiri.
“Terus kamu mau terus-menerus dengan hubungan yang seperti itu? Aku sudah kehilangan diriku sendiri. Buat apalagi. Ya, jika ditanya soal cinta, aku mencintaimu. Tapi bukan cinta yang seperti ini, penuh dengan nafsu dan ego saja.”
“Apa yang membuat aku percaya, sementara aku sendiri harus membiarkan tubuhku terus-menerus kau miliki. Hubungan seperti apa yang tidak memiliki muaranya. Aku ingin kita usai dan memiliki jalan masing-masing. Aku berhak atas pilihanku juga bukan?”
“Sudah gila kamu, sejauh ini kita berjalan dan seolah pernikahan mudah di kepalamu, Mar.” Dia berdiri, membuang puntung rokoknya di lantai kamar.
“Mar, apakah seolah cinta saja tidak cukup buatmu?”
“Ini bukan cinta, kau hanya menginginkan tubuhku.” Ia kemudian melayangkan sebuah tamparan ke pipiku dan meninggalkan aku.
Badanku memaku–menunduk. Air mata membasahi segala hal di sana. Aku menemukan kesunyian tersungkur tanpa ampun. Tubuhku gemetar. Tidak ada yang bisa kulakukan. Ia pergi meninggalkan rumah ini dan tidak hanya rumah, ia meninggalkan segala hal yang sudah kita bangun sejak awal. Tidak ada lagi cinta tapi hanya kuasa laki-laki.
Kesedihan memasuki segala ruang dalam tubuhku. Aku ini perempuan. Ya, dengan segala pandangan yang hadir. Aku membenci diriku yang lemah dan tidak berdaya. Aku tidak membenci peranku sebagai perempuan. Tapi, gagasan cinta merenggut semua hal dalam diriku. (dwi/k8)
Esty Pratiwi Lubarman, lahir di Samarinda 28 November 1999. Alumnus Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Mulawarman. Pada 2019 melahirkan buku kumpulan puisi berjudul “Perempuan Dikekang Malam”.