• Senin, 22 Desember 2025

Kerja Keras Hadapi Penyakit, Tak Ingin Pupus karena Lupus

Photo Author
- Senin, 13 Mei 2024 | 10:01 WIB
ilustrasi penyakit lupus
ilustrasi penyakit lupus

AIR mata Nur Mastianah Sitompul seketika mengalir ke wajah. Matanya memerah. Dengan segera, perempuan berjilbab pun mengambil tisu di atas meja. Lalu mengusapkan di antara kacamatanya. Namun ceritanya tidak berhenti. Mengenang saat-saat terakhir dirinya bersama sang putri. Anisa Rizky Amelia yang lebih dulu meninggalkan dunia ini. “Anisa meninggal tahun lalu,” ungkap Nur, Kamis (9/5) lalu.

Anisa sendiri merupakan odapus, sebutan untuk penderita lupus. Pada 2022 lalu, Kaltim Post sempat mewawancarai dara kelahiran tahun 2000 itu. Kala itu, Anisa telah mengidap lupus selama delapan tahun. Dimulai ketika dirinya masih duduk di bangku kelas 1 SMA. Nur menyebut, sejak proses penyelesaian skripsi kuliahnya di Poltekes Samarinda pada 2021 lalu, kondisi anaknya semakin memburuk.

Baca Juga: Sekuat Tenaga Hadapi Lupus, Ternyata Rentan Menyerang Perempuan Muda

“Seminggu sekali Anisa harus cuci darah karena mengalami gagal ginjal kronis. Yang kiri sudah tidak berfungsi. Yang kanan sisa 45 persen fungsinya. Cuci darah pertama itu seminggu sebelum dia wisuda,” ungkap Nur yang juga seorang bidan dan perawat di Rumah Sakit (RS) Balikpapan Baru itu. 

Selama proses pengobatan untuk pasien gagal ginjal, Nur menyebut Anisa menjalani diet ketat. Dengan harapan tidak rutin menjalani cuci darah. Namun karena kondisinya yang terus tidak mengalami perubahan, Anisa pun oleh dokter diwajibkan cuci darah rutin. Bahkan meningkat menjadi dua kali seminggu.

“Namanya anak kalau sudah lulus ingin kerja. Akhirnya dia diterima sebagai analis laboratorium di RS TNI AU Lanud Balikpapan. Bersyukurnya pihak rumah sakit dan teman-temannya paham kondisi Anisa. Jadi kalau memang jadwalnya cuci darah atau pas dia kondisinya drop bisa istirahat,” ucap Nur.

 

Sebagai seorang ibu dan tenaga medis, Nur sadar kondisi putrinya. Meski tampak kuat, Anisa yang terbiasa ‘lengket’ dengan dirinya sering mengalami stres akibat penyakit yang dideritanya. Bahkan tiga bulan sebelum meninggal, Anisa didiagnosa terkena hidrosepalus. Meski kemudian dianggap telah sembuh. Namun sempat selama sebulan, kondisi sang putri tidak bisa berjalan dan harus menggunakan kursi roda.

“Inilah penyakit lupus. Penyakit ini menyerang di mana saja. Saya hampir setiap hari menemaninya ke rumah sakit. Mulai dari ke dokter saraf sampai dokter jantung. Bahkan Anisa sempat kena pneumonia dan dicurigai TB (tuberkulosis) karena parunya bercak hitam. Tapi ternyata negatif. Hingga dokter minta untuk ICU. Namun Nisa tidak mau. Maunya diisolasi saja biar bisa saya temani,” jelasnya.

Nur menyebut, kondisi Anisa masih terus memburuk. Bahkan untuk salat saja, Anisa harus membaca buku karena lupa dengan bacaan suratnya. Anak bungsunya itu lantas sering mengalami sesak nafas hingga kejang-kejang. Hingga harus bolak-balik dirawat intensif di ICU sambil dilakukan cuci darah. Sampai pada saatnya akan dilakukan penanganan menggunakan ventilator, rumah sakit tempatnya dirawat tidak memiliki alat karena digunakan pasien lainnya.

“Akhirnya dirujuk ke rumah sakit lain supaya dapat ventilator. Saat di UGD rumah sakit rujukan, kondisi Anisa masih sadar. Di sana dia minta maaf ke saya. ‘Maafin ade karena ngerepotin mama’. Saya bilang ‘enggak de, mama yang minta maaf. Mama hanya bisa seperti ini,” kenang Nur sambil terisak.

Sejak di UGD tersebut, Anisa yang kemudian dirawat di ICU sudah sulit diajak komunikasi. Meski begitu, Nur kerap mengingatkan Anisa untuk bisa membaca syahadat dan mengajaknya salat.

Dia menyebut tidak ingin menangis ketika menghadapi kondisi putrinya. Anisa yang sempat dirawat selama tiga malam di ICU pun akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya. “Dia meninggal saat Maulid Nabi Muhamamd (28/9/2023) pukul 06.30 Wita. Besoknya dia dimakamkan,” ujarnya.

 

Selain sebagai orangtua anak penderita lupus, Nur juga pegiat dan pendiri Kula Kupu Borneo (KKB). Sebuah grup yang berisi orang-orang penderita lupus dan penyakit autoimun lainnya. Disebutnya, setiap penderita lupus memiliki cara masing-masing dalam menghadapi penyakit mereka. Ada yang menerima, namun ada pula yang menolak kenyataan.

“Ada yang enjoy seperti ada kawan kami yang sudah 20 tahun menderita lupus. Namun beda dengan anak saya. Mungkin karena dia masih belia. Masih labil. Sehingga sulit sekali menghindari stres. Bahkan saya baru tahu anak saya sempat 1 tahun tidak konsumsi obatnya. Apalagi saat dua tahun menjalani cuci darah itu banyak sekali obatnya,” ujar Nur. (rom)

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Indra Zakaria

Sumber: Kaltim Post

Rekomendasi

Terkini

6 Tanda Awal Serangan Jantung yang Sering Diabaikan

Selasa, 21 Oktober 2025 | 11:15 WIB
X