- Infeksi HPV
Lebih dari 95% kasus kanker serviks disebabkan oleh infeksi HPV, terutama tipe HPV 16 dan 18, yang bertanggung jawab atas lebih dari 70% kasus kanker ini. HPV ditularkan melalui hubungan seksual dan dapat menyebabkan perubahan sel di leher rahim yang berpotensi berkembang menjadi kanker jika tidak ditangani.
- Faktor keturunan atau genetik
Pengidap kanker serviks pada umumnya memiliki anggota keluarga yang pernah menderita kanker serviks sehingga dapat meningkatkan risiko seseorang untuk mengalaminya
- Sistem kekebalan tubuh yang lemah dan perilaku seksual
Wanita dengan sistem kekebalan tubuh yang lemah, seperti penderita HIV/AIDS, lebih rentan terhadap infeksi HPV dan perkembangan kanker serviks. Selain itu, memulai hubungan seksual pada usia muda dan memiliki banyak pasangan seksual dapat meningkatkan risiko terpapar HPV.
- Melahirkan banyak anak
Wanita yang melahirkan lebih dari lima anak atau melahirkan pada usia sangat muda memiliki risiko lebih tinggi untuk mengembangkan kanker serviks.
Apa saja obat yang direkomendasikan untuk pengidap kanker serviks?
Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menjelaskan bahwa pengobatan kanker serviks melibatkan berbagai jenis obat yang digunakan tergantung pada stadium kanker dan kondisi kesehatan pasien. Berikut adalah beberapa obat yang direkomendasikan untuk pengidap kanker serviks meliputi:
- Cisplatin
Obat ini adalah salah satu kemoterapi yang paling umum digunakan untuk kanker serviks. Cisplatin bekerja dengan menghambat perkembangan dan penyebaran sel kanker. Pemberian dilakukan melalui infus ke dalam pembuluh darah.
- Avastin (Bevacizumab)
Obat ini menghambat pertumbuhan pembuluh darah baru yang diperlukan tumor untuk tumbuh. Pemberian dilakukan melalui infus dan biasanya diberikan setiap dua atau tiga minggu sekali.
- Pembrolizumab
Pembrolizumab merupakan imunoterapi yang membantu meningkatkan respons kekebalan tubuh terhadap sel-sel kanker. Ini biasanya diberikan kepada pasien yang mengalami kekambuhan setelah kemoterapi.
Penggunaan obat-obatan ini harus dilakukan di bawah pengawasan dokter spesialis onkologi untuk menentukan regimen pengobatan yang paling sesuai dengan kondisi pasien. Setiap pasien mungkin memerlukan pendekatan yang berbeda berdasarkan respons terhadap pengobatan dan efek samping yang mungkin terjadi. (*)